in

Sumur, Dapur, dan Kasur: Sebuah Dekonstruksi dalam Kacamata Patriarki

Dalam masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki, perempuan sering kali terjebak dalam peran-peran domestik yang diidentikkan dengan “sumur, dapur, dan kasur.” Istilah ini mengacu pada pembagian peran gender yang menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah, dengan tanggung jawab utama merawat keluarga, memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan melayani suami. Meski peran-peran ini sering dianggap “kodrati,” pada dasarnya konsep ini adalah hasil dari konstruksi sosial patriarki yang telah berlangsung berabad-abad. pertanyaannya Apakah Peran perempuan memang di khususkan untuk bekerja di Rumah saja selebihnya itu untuk Melayani suami?

Patriarki dan Pembatasan Peran Gender

Patriarki adalah sistem sosial yang memberikan peran lebih cenderung kepada laki-laki, sementara perempuan hanya ditempatkan pada posisi subordinat. Dalam sistem ini, perempuan diharapkan menjalankan peran-peran yang berkaitan dengan kehidupan domestik saja. seperti mengurus Rumah tangga, mencuci, merawat anak, dan mendampingi suami.

“Sumur, dapur, kasur” menjadi representasi simbolis dari pembagian kerja gender yang kaku, di mana perempuan hanya diizinkan untuk berkontribusi dalam ruang domestik, sedangkan laki-laki mendominasi ruang publik.

Sejak masa kolonial hingga era modern, banyak masyarakat di dunia termasuk Indonesia mengalami internalisasi konsep ini. Bahwa perempuan ideal adalah mereka yang mengurus rumah dan menjadi pelayan bagi keluarganya telah mengakar kuat. Akibatnya, perempuan sering kali dihadapkan pada tekanan sosial untuk mengikuti peran ini, meskipun mereka memiliki ambisi dan potensi yang jauh lebih luas di luar lingkup rumah tangga.

Dekonstruksi Peran: Kritik terhadap “Sumur, Dapur, Kasur”

Dekonstruksi patriarki berarti mempertanyakan dan menghancurkan segala asumsi dasar yang membentuk ketidaksetaraan gender. Kritik terhadap peran “sumur, dapur, kasur” berusaha mengubah cara pandang masyarakat terhadap peran perempuan, serta membuka peluang bagi mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih setara, baik di ruang domestik maupun ruang publik.

Baca Juga  Serangan Fajar Gak Dapat, Malah Ancaman Panitia Penyelenggara KKN yang Datang

Dekonstruksi ini tidak berarti menolak sepenuhnya aktivitas domestik, melainkan memberikan perempuan kebebasan untuk memilih peran yang mereka inginkan tanpa ada tekanan dari masyarakat atau norma patriarki. Perempuan yang memilih untuk fokus pada rumah tangga harus dihargai dengan setara seperti perempuan yang memilih karier profesional di luar rumah. Namun, yang lebih penting, harus ada kebebasan dari paksaan budaya yang menempatkan peran domestik sebagai satu-satunya opsi yang bernilai bagi perempuan.

Dalam Buku Sarinah Soekarno menyatakan bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun bangsa, baik sebagai ibu yang mendidik generasi penerus, maupun sebagai pejuang dalam ranah publik. Ia melihat perempuan tidak hanya sebagai penjaga rumah tangga, tetapi juga sebagai aktor politik yang dapat mengambil peran aktif dalam proses pembangunan negara.

Soekarno mempopulerkan konsep “Ibu Bangsa”, di mana perempuan dilihat sebagai tiang utama yang menopang moral dan etika masyarakat. Namun, penting untuk dicatat bahwa konsep ini tidak dimaksudkan untuk mengekang perempuan dalam peran domestik semata. Sebaliknya, Soekarno mengajak perempuan untuk terlibat aktif dalam politik, pendidikan, dan ekonomi, guna memperkuat pondasi bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Perlawanan Perempuan terhadap Patriarki

Gerakan feminisme dan hak asasi perempuan telah memainkan peran penting dalam menggugat peran-peran gender yang ditetapkan oleh patriarki. Perempuan semakin vokal dalam menyuarakan hak mereka untuk terlibat dalam pendidikan, politik, ekonomi, dan berbagai aspek kehidupan publik lainnya.

Pada abad ke-20, gerakan perempuan di berbagai belahan dunia mulai mengadvokasi hak-hak dasar seperti pendidikan, pekerjaan yang setara, dan partisipasi politik. Di Indonesia, sosok seperti R.A. Kartini menjadi simbol perlawanan terhadap pembatasan ruang perempuan, memperjuangkan hak untuk belajar dan berkarya di luar peran-peran tradisional. Semangat Kartini ini kemudian berkembang dalam gerakan-gerakan feminisme modern yang menantang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Baca Juga  Apa Salahnya Jika Perempuan “Telat” Menikah?

Banyak perempuan saat ini tidak hanya mendobrak batas-batas domestik, tetapi juga memimpin di berbagai sektor terlebih dalam hal politik. Mereka berjuang melawan stigma bahwa peran mereka hanya terbatas pada urusan rumah tangga, dan menuntut pengakuan atas kontribusi mereka di ruang publik.

Tantangan dan Masa Depan Perjuangan

Meskipun perlawanan terhadap patriarki telah menghasilkan banyak kemajuan, tantangan besar masih ada. Budaya patriarki terus mengakar kuat di banyak masyarakat, termasuk dalam bentuk penggambaran media, kebijakan publik, dan norma-norma sosial yang merugikan perempuan. Banyak perempuan yang memilih untuk mengejar karier profesional masih harus berhadapan dengan tuntutan ganda yaitu, ekspektasi bahwa mereka juga harus tetap mengurus rumah tangga, sementara di sisi politik kaum patriarki juga masih bayak yang memandang perempuan belum mampu untuk memimpin.

Selain itu, kekerasan berbasis gender, pelecehan seksual, dan kesenjangan upah adalah beberapa masalah nyata yang masih dihadapi perempuan di berbagai belahan dunia. Ini menunjukkan bahwa dekonstruksi patriarki tidak hanya memerlukan perubahan dalam cara kita memandang peran gender, tetapi juga perubahan mendasar dalam kebijakan dan struktur sosial yang menopang ketidaksetaraan.

Dekonstruksi patriarki merupakan langkah penting dalam membebaskan perempuan dari peran-peran yang dibatasi oleh paradigma “sumur, dapur, dan kasur.” Perlawanan perempuan terhadap patriarki adalah upaya kolektif untuk menuntut kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang adil di segala aspek kehidupan. Dalam dunia yang semakin modern dan terbuka, penting bagi kita untuk terus mendukung kebebasan perempuan dalam menentukan peran mereka sendiri, baik di ruang domestik maupun publik, tanpa tekanan dan stigma sosial yang mengekang. Hidup Perempuan Yang Melawan.

Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Hendrazes

Lebih akrab disapa Bung Hendra. Saya berasal dari Kota Sorong Papua Barat daya. Masi aktif kuliah di sala-satu Kampus di kota Sorong, Universitas Victory Sorong Fakultas Hukum

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

HAKTP 2024: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Kampus Terus Terjadi

Perempuan dan Skincare: Melodi Kehidupan dalam Setiap Tetesan Serum