“Darr… dorr… darr… “
Ledakan itu diselingi Suara riang gembira!
Lagi.. lagii! Kasih keluar petasanmu yang paling besar!!
Pack!!!!! Pukk….pack
Dan suara slepet sajadah menghantam keras pundak anak-anak seketika membubarkan keramaian itu.
Beberapa jamaah masjid sesekali menoleh di jeda Tarawih, seorang ibu-ibu bahkan keluar ke beranda masjid hanya untuk mengecek apakah anaknya terlibat dalam riak kekacauan ibadah malam.
Beberapa anak kembali mengisi saf-saf barisan belakang, dan kembali melantangkan “aaamiiinn” sekencang-kencangnya, Juga “waa barik alaihi” pada bacaan shalawat. Selingan tarawih dua puluh yang tak kalah ramenya. Selepas itu lalu kembali hening. Orang-orang pada saf paling depan beserta iman kembali pening. Perkara itu, sudah menjadi tradisi, serasa ada yang kurang jika keramaian itu dihapuskan di bulan suci ini.
Selepas ibadah malam itu, orang-orang bersantap ria di warung-warung mie siram dengan topik yang tak kalah panasnya.
“Siapa tadi itu marahi?”, Tanya salah satu pelanggan!
“Iyo aih, ribut sekali, teriak-teriak, orang sementara shalat, bukan lomba keras suara”, Timpal pelanggan lain.
“Namanya juga anak-anak buk”, Saut tukang warung menengahi, meskipun ia tak melihat dengan mata kepala karena tak berangkat tarawih, tapi ia tau persis peristiwa seperti itu adalah warisan orang kampung, yah, seperti ia kecil dulu, anggap saja alumni wkwk.
Waktu berlalu. Malam kembali hening, di sudut-sudut kampung, anak-anak sibuk mempersiapkan properti. Bambu dibelahnya, baskom anti pecah siap dicoba ketahanannya, jergen bekas minyak tanah tak kalah jumlahnya, seng dan segala benda penghasil bunyi keras dan nyaring akan dipadukan di sepertiga malam. Dan satu senjata pamungkas yang jangan sampai ketinggalan, yah berul sekali “Petasan”.
Manakala sampai 5 menit yang punya rumah belum juga ada tanda-tanda bangun, maka jurus terakhir adalah ledakan penutup, dan ini cukup berhasil selama ini, yah meskipun lagi-lagi, kadang, kena siraman air, dikejar anjing atau yang paling parah di dunia persahuran adalah ditembak senapan. Ini betul-betul pernah terjadi.
Keesokan harinya, anak-anak kembali menganak. Mereka yang paling lantang menyuarakan bangun sahur adalah yang setengah hari berpuasa. Sementara mereka yang berpuasa full adalah orang pemarah yang jadi korban anak-anak itu, memaksakan diri tidak makan seharian tanpa sadar berpuasa dalam setengah “hati.”
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Pituzine Vol. I

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings