in

Ilusi Pernikahan Muda: Di Balik Romantisme dan Realita

Ilusi Pernikahan Muda: Di Balik Romantisme dan Realita

Pernikahan muda sering dianggap sebagai pencapaian hidup penuh romantisme, terutama dengan glorifikasi dari publik dan media. Namun, di balik narasi ini, banyak pernikahan muda anak melibatkan individu di bawah usia sah, memperlihatkan kesenjangan antara gambaran ideal dan realitas yang sering terabaikan. Hal ini semakin relevan mengingat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan angka perkawinan di bawah umur yang masih tinggi. Setiap tahun, sekitar 10,5 persen perkawinan anak terjadi di Indonesia, dengan provinsi Nusa Tenggara Barat mencatatkan angka tertinggi pada 2023, yaitu 17,32 persen. Angka ini diikuti oleh Sumatera Selatan (11,41 persen) dan Kalimantan Barat (11,29 persen).

Tak heran, Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia. Berdasarkan data UNICEF 2023, Indonesia menempati urutan ke-4 global dengan estimasi 25,53 juta anak perempuan yang menikah di usia dini, menjadikannya negara dengan kasus perkawinan anak terbesar di kawasan ASEAN. Fenomena ini menambah kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap individu dan masyarakat, yang sering kali terlupakan dalam narasi romantisasi pernikahan muda.[1]

Pesona yang Menyesatkan

Romantisasi pernikahan muda menciptakan ekspektasi yang tidak realistis, menegaskan bahwa pernikahan di bawah umur bukanlah hal yang patut dipromosikan. Pernikahan bukan hanya status sosial, tetapi komitmen besar yang membutuhkan kesiapan emosional, material, dan spiritual. Konten yang mengagungkan pernikahan muda dapat berdampak negatif, terutama bagi remaja yang tergoda meniru tanpa memahami esensi dan tanggung jawabnya.

Di Indonesia, kurangnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi semakin memperburuk masalah ini, menyebabkan generasi muda kekurangan pemahaman tentang konsekuensi pernikahan. Pendukung pernikahan muda berargumen bahwa hal tersebut dapat mencegah zina dan melindungi perempuan. Namun, dampak jangka panjang terhadap individu dan masyarakat sering diabaikan.

Dalam hal ini, data dari Time Use Survey yang dirilis oleh Australian Bureau of Statistics (2022) menggambarkan perbedaan yang mencolok dalam pembagian beban kerja tak berbayar antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, perempuan menghabiskan rata-rata satu jam lebih banyak daripada laki-laki dalam aktivitas kerja tak berbayar, salah satunya dalam beban pengasuhan rumah tangga.[2] Di Indonesia, fenomena ini menjadi perhatian, karena perempuan lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga yang sering kali dianggap sebagai kewajiban mereka.

Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa sekitar 70% perempuan terlibat dalam perawatan fisik dan emosional anak-anak, sementara hanya 42% laki-laki yang berpartisipasi dalam hal yang sama. Selain itu, 51% perempuan menghabiskan waktu untuk bermain, membaca, atau berbicara dengan anak-anak, dibandingkan dengan hanya 38% laki-laki. Bahkan, 40% perempuan terlibat dalam memberi makan dan menyiapkan makanan untuk anak-anak, sementara hanya 17% laki-laki yang turut serta dalam kegiatan serupa.[3]

Beban perempuan tidak hanya mencakup pengasuhan anak, tetapi juga pekerjaan rumah tangga lainnya, seperti membersihkan rumah dan mengurus keluarga, yang sering kali diabaikan meski menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Tekanan sosial untuk memenuhi peran ganda sebagai pengasuh dan pekerja rumah tangga menciptakan ketegangan dalam kehidupan perempuan, yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka.

Baca Juga  Gerakan Mahasiswa Hari Ini: Mencari Makna dalam Kerumunan

Media dan Konstruksi Romansa

Media dan televisi sering memperkuat romantisme pernikahan muda dengan framing yang menggembirakan, menggambarkan pernikahan dini sebagai pengalaman bahagia tanpa mempertimbangkan konflik yang mengiringinya. Pasangan muda yang tampil di acara televisi sering berbagi cerita lucu dan romantis, sementara kenyataan bahwa pernikahan adalah perjalanan panjang yang penuh pengorbanan sering tidak diperhatikan.

Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sudah menaikkan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun, banyak ahli psikologi berpendapat bahwa usia tersebut masih terlalu muda untuk mencapai kedewasaan emosional yang dibutuhkan dalam pernikahan. Pada usia ini, banyak remaja masih dalam fase perkembangan identitas dan mungkin belum siap menghadapi tantangan dalam berumah tangga.

Namun, kenyataannya, peraturan tersebut sering kali diterabas dengan alasan moralitas, agama, adat istiadat atau faktor ekonomi. Bahkan, setelah pengesahan amandemen UU Perkawinan pada tahun 2019, angka dispensasi pernikahan anak justru meningkat tajam hingga 17,32 persen pada tahun 2020. Dispensasi pernikahan yang diajukan ke Pengadilan Agama tercatat sebesar 23.145 kasus pada tahun 2019, dan melonjak menjadi 63.382 kasus pada tahun berikutnya. Tren tingginya dispensasi ini masih berlanjut hingga tahun 2022.[4]

Padahal, pernikahan dini memiliki banyak konsekuensi merusak yang sering kali terpinggirkan. Konsekuensi tersebut tidak hanya berdampak pada kesejahteraan fisik dan mental, tetapi juga mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Dalam berbagai penelitian, pernikahan dini dikaitkan secara signifikan dengan penggunaan kontrasepsi yang rendah sebelum melahirkan anak pertama, tingkat kesuburan yang tinggi (tiga kelahiran atau lebih), serta kehamilan berulang—di mana perempuan hamil lagi dalam waktu hanya tiga bulan setelah melahirkan.[5] Selain itu, sebuah penelitian mengenai kontrol perilaku dan kekerasan pasangan terhadap wanita di Pakistan menunjukkan bahwa wanita yang menikah di usia anak mengalami kontrol perilaku yang lebih besar dari pasangan mereka, serta lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun emosional.[6]

Penelitian yang dilakukan oleh Irani dan Roudsari pada 2019 juga menegaskan bahwa pernikahan dini pada anak perempuan berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian saat melahirkan, kekerasan fisik dan seksual, depresi, peningkatan risiko tertular penyakit menular seksual, serta kelahiran prematur.[7] Normalisasi pernikahan muda adalah isu serius yang harus segera dihentikan. Pernikahan bukan hanya tentang romantisme atau kebahagiaan sesaat, tetapi tentang kesiapan untuk menghadapi ujian hidup yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, narasi tentang pernikahan muda yang tidak kritis dan terlalu idealis sebaiknya dihindari. Pernikahan adalah tentang menerima realitas hidup, termasuk tantangan, pengorbanan, dan kenyataan yang tidak selalu menyenangkan. Penting untuk mengedepankan perspektif yang realistis, agar masyarakat tidak terjebak dalam glorifikasi pernikahan dini yang bisa menyesatkan dan berisiko merugikan generasi muda.

Baca Juga  Aktivis Tidak Bercerita, Tiba-tiba "Keos"

Mencegah Romantisasi Pernikahan Muda

Untuk mencegah fenomena pernikahan muda, beberapa langkah penting perlu diambil oleh pengambil kebijakan. Pertama, penerapan pendampingan sosial yang komprehensif pada keluarga rentan sangat krusial. Dengan memperkuat ikatan sosial di sekitar anak—baik keluarga, kelompok sebaya, maupun komunitas—anak mendapat dukungan positif yang mengurangi potensi pernikahan dini. Kedua, keluarga perlu memberikan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi.[8]

Langkah lain yang penting adalah menyediakan ruang bagi anak untuk berkreasi sesuai minat mereka. Kegiatan produktif seperti ini memberikan alternatif sehat untuk perkembangan mereka. Forum-forum anak yang melibatkan organisasi dan komunitas lokal juga dapat menjadi wadah untuk berdiskusi dan mencegah kehamilan pada usia dini. Keempat, meningkatkan kemampuan berpikir kritis anak melalui pemberdayaan dan partisipasi remaja akan membantu mereka menilai risiko kehamilan dan membuat keputusan yang lebih bijak untuk melindungi diri.[9]

Terakhir, penting melibatkan pemilik media dalam memproduksi konten edukatif yang menghindari glorifikasi pernikahan muda dan mengobjektifikasi tubuh perempuan. Pendekatan berperspektif gender dan inklusif dalam pemberitaan dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap fenomena ini.

Romantisasi pernikahan muda hanya memperburuk ekspektasi tidak realistis, sementara kenyataan kehidupan rumah tangga jauh lebih kompleks dan penuh tantangan. Narasi tentang pernikahan perlu digeser dari sekadar romansa menjadi refleksi tentang tanggung jawab, kedewasaan, dan kesiapan untuk menghadapi segala kemungkinan dalam kehidupan berumah tangga.




[1] Yosep Budianto, “Tingginya Angka Perkawinan Usia Anak di Indonesia”, Kompas.id. Diakses di https://www.kompas.id/baca/riset/2024/03/08/tingginya-angka-perkawinan-usia-anak-di-indonesia pada 4 Januari 2024.

[2] Australian Bureau of Statistics. “How Australians Use Their Time.” ABS, 2020-21, https://www.abs.gov.au/statistics/people/people-and-communities/how-australians-use-their-time/latest-release.

[3] Ibid.

[4] Yosep Budianto.,Opc.

[5] Raj, Anita, Niranjan Saggurti, Donta Balaiah, and Jay G. Silverman. “Prevalence of child marriage and its effect on fertility and fertility-control outcomes of young women in India: a cross-sectional, observational study.” The lancet 373, no. 9678 (2009): 1883-1889.

[6] Nasrullah, Muazzam, Sana Muazzam, Zulfiqar A. Bhutta, and Anita Raj. “Girl child marriage and its effect on fertility in Pakistan: findings from Pakistan Demographic and Health Survey, 2006–2007.” Maternal and child health journal 18 (2014): 534-543.

[7] Irani, Morvarid, and Robab Latifnejad Roudsari. “Reproductive and Sexual Health Consequences of Child Marriage: A Review of literature.” Journal of Midwifery & Reproductive Health 7, no. 1 (2019).

[8] Kusumaningrum, S., Agastya, N. L. P. M., Nisa, S. A., Pratama, G., Adhi, A. A., Sari R. K., Rizal, T., Rachmawati, E., & Nurhayati, E. S. (2023). Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

[9] Ibid.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Sekar Jatiningrum

Pecinta karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan, penggemar cinema of contemplation, dan penikmat rutinitas monoton yang tampak membosankan, namun sejatinya membebaskan.

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Kedai Kopi dan Romantisasi Ide-ide Ala Aktivis Mahasiswa

Implementasi Good Governance Melalui Nilai Tradisional Mandar