in

LoveLove

Disparitas Pendidikan: Anak Putus Sekolah dan Kekerasan Struktural

Pendidikan menjadi salah satu aspek yang berkontribusi besar terhadap pengembangan sumber daya manusia (SDM). Pendidikan menjadi suatu upaya untuk membentuk manusia yang mandiri dan bertanggung jawab, dimana pendidikan merupakan salah satu usaha dalam memberi pertolongan pada setiap anak yang menjadi generasi sebuah daerah bahan negara.

Hal ini telah termaktub didalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, 2 dan 3 yang membahahas tentang setiap warga negara memiliki hak atas pendidikan dan pemerintah wajib untuk membiayainya, dalam hal ini pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan pada hakikatnya menjadi suatu keharusan bagi setiap manusia secara keseluruhan tanpa perbedaan dalam aspek apapun itu dalam hal ini, suku, keadaan masyarakat, agama, politik, keadaan mental ataupun fisik, dan geografis. Kualitas pendidikan dapat diukur dari kualitas tenaga pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana serta pendiikan karakter yang diberikan kepada peserta didik.

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan dituntut harus mampu mencetak generasi yang berkualitas sesuai dengan beberapa tantang globalisasi. Lembaga pendidikan harus bisa menyiapkan lulusan yang siap kerja dan bersaing. Namun, ada beberapa hal yang menjadi masalah dalam lingkup pendidikan kita ini termasuk disparitas pendidikan atau kesenjangan pendidikan yang mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah yang kemudian menjadi masalah yang hampir tidak menjadi perhatian beberapa pihak terkait (dalam hal ini Pemerintah Daerah).

Anak putus sekolah menurut Gunawan (2019) yaitu seseorang yang memutuskan masa studinya dan membuat pemerintah untuk mencopotkan status mereka sebagai siswa. Masalah anak putus sekolah ini telah menjadi salah satu masalah ang dihadapi dihampir semua daerah di Indonesia termasuk pada fokus pembahasan yaitu Polewali Mandar.

Peningkaan angka putus sekolah mempunyai dampak tersendiri bagi individu tertentu maupun masyarakat luas. Pada realitasnya seseorang maupun individu yang putus sekolah dengan standar pendidikan rendah cenderung lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan kesempatan berkerja yang terbatas, yang pada akhirnya bisa menjadi hal yang berkelanjutan hingga mengakibatkan mereka berada dalam siklus kemiskinan.

Angka putus sekolah yang tinggi dan jika terus meningkat juga dapat menghambat pertumbuhan serta kemajuan suatu daerah dalam segi ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya. Anak putus sekolah menurut Gunawan (2019) yaitu seseorang yang memutuskan masa studinya dan membuat pemerintah untuk mencopotkan status mereka sebagai siswa. Masalah anak putus sekolah ini telah menjadi salah satu masalah yang dihadapi dihampir semua daerah di Indonesia termasuk pada fokus pembahasan yaitu Polewali Mandar.

Baca Juga  Korban Berteriak, Hukum Membisu: Kegagalan Penegakan Hukum dalam Kasus Pornografi yang Menimpa Peserta KKN Koparekraf

Dalam UU No 20 tahun 2003 yang bertujuan untuk menjamin pemerataan akses pendidikan, meningkatkan mutu, dan efisiensi manajemen pendidikan. Selain dalam membangun sistem pendidikan UU ini juga membahas tentang bagaimana setiap warga negara untuk menyelesaikan pendidikan mereka sehingga pemerintah menerapkan sebuah program dimana tiap warga negara wajib menyelesaikan pendidikan yang umum selama 9 tahun. Pada pasal 1 ayat 11-12 menyebutkan bahwa pendidikan umum (formal), pendidikan yang terstruktur (nonformal) dan pendidikan dari keluarga atau lingkungan dalam membentuk karakter setiap warga (informal).

Dari banyaknya uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan menjadi kebutuhan pokok namun untuk mendaparkan pendidikan yang baik dipengaruhi oleh kondisi ekonomi keluarga. Pengaruh ini yang mampu membuat pendidikan tidak berjalan dengan baik sehingga menyebabkan anak putus sekolah. Maka dengan ini penting untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi adanya peningkatan angka putus sekolah sehingga bisa menciptakan rancangan kebijakan maupun program yang lebih efektif dan efisien yang mampu untuk meminimalisir adanya peningkatan angka putus sekolah di Indonesia untuk kedepannya.

Siswa putus sekolah merupakan siswa yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang sekolah, dengan demikian mereka tidak dapat memiliki ijazah di jenjang tersebut. Seorang ahli berpendapat bahwa siswa putus sekolah merupakan siswa yang dinyatakan telah keluar dari sekolah sebelum waktu yang telah ditetapkan atau sebelum dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah dari sekolah. Dari beberapa pengertian di atas terkait pengertian siswa putus sekolah, maka kesimpulannya yaitu siswa putus sekolah merupakan siswa tidak dapat menyelesaikan, menuntaskan, atau tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan (Sandhopa, 2019).

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) pertahun 2022 sebanyak 4.181 anak usia 7-15 tahun tidak mengenyam pendidikan di daerah polewali Mandar. Karena hal ini, Polewali Mandar menjadi peringkat 1 di Sulawesi Barat pada aspek anak putus sekolah. Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah daerah khususnya Dinas Pendidikan.

Dalam suatu penelititan yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa asal Polewali Mandar ternyata masalah utama yang menjadi faktor seoarang anak sehingga putus sekolah adalah faktor ekonomi, dan fasilitas menuju sekolah. Karena faktor ini, solusi tidak seharusnya selalu hadir dari Pemerintah, tapi apakah pemerintah telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan peraturan yang berlaku seperti yang tersebut di atas tadi.

Baca Juga  Negeri Mesin Ketik: Ketika Sejarah Dihapus, Ingatan Dipoles

Kemiskinan selalu menjadi penghambat perkembangan apapun itu diaspek kehidupan manapun juga. Kemiskinan sejak dulu susah didefenisikan, ada yang mengatakan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat biaya konsumsi. Indikator kemiskinan adalah deprisiviasi (kehilangan kemampuan) seperti penurunan tingkat gizi, buta huruf, dan buruknya akses pada beberapa pelayanan masyarakat.

Pertanyaan dari banyak pihak adalah, bukankah pendidikan gratis untuk setiap warga negara? dan bukankah negara telah menganggarkan 20% APBN untuk biaya pendidikan? serta wajibkah pembayaran SPP untuk sekolah Negeri tingkat Dasar dan mengengah? Sebenarnya hal ini telah dijawab oleh UU yang disebutkan di atas. Jika negara telah menjadi solusi untuk masalah ini, mengapa ekonomi masih menjadi faktor utama meningkatnya angka putus sekolah di Polewali Mandar khususnya.

Terdapat beberapa sekolah Negeri yang melakukan program pembayaran SPP di daerah Polewali Mandar, apakah ini telah diketahui oleh pihak Pemerintah? Atau ada kesepakatan antara pemerintah dengan pihak sekolah? ini masih menjadi misteri yang seharusnya tidak menjadi faktor utama. Karena hal ini, dapat disimpulkan bahwa aspek pendidikan tdak mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Kebijakan sekolah atau pemerintah yang membiarkan hal tersebut saling bertolak belakang dengan UU yang berujung menjadikan korban masyarakat umum. Keluhan mengucur deras dari beberapa kalangan masyarakat mengenai biaya hingga kualitas. Tingginya biaya tak menjamin pendidikan menjadi lebih berkualitas di setiap sekolah. Kritikan atas penyaluran dana dan kritikan atas biaya pendidikan ini, lagi-lagi pada transparansi dan pertanggung jawaban. Pada temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang tidak transparannya pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) pada sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas makin membuktikan betapa buram wajah pendidikan kita saat ini.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Innah Cantiiiikk

Intinya saya selalu cantiikk😊🙌

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Peran Generasi Muda dalam Pilkada Polewali Mandar dan Harapan di Masa Depan

Membicarakan Sedikit Tentang Polewali Mandar