Dalam ranah pemikiran kebangsaan dan keagamaan di Indonesia, terdapat titik temu yang menarik antara Marhaenisme ala Bung Karno dengan perspektif religius tauhid Nahdlatul Ulama (NU), khususnya dalam menyoroti aspek kemanusiaan.
Perpaduan antara prinsip tauhid dan kemanusiaan ala Marhaenisme menawarkan landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab di Indonesia. Tauhid memberikan dimensi spiritual dan moral yang mendalam pada konsep persamaan, mengingatkan bahwa martabat manusia bukan hanya berasal dari hak-hak sosial atau ekonomi, tetapi juga dari ikatan transenden dengan Sang Pencipta.
Sementara itu, Kemanusiaan ala Marhaenisme mengisi kekosongan praktis dengan menyoroti realitas ketidakadilan struktural dan ekonomi yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat. Ia mendorong tindakan konkret untuk menghilangkan kesenjangan dan memastikan bahwa persamaan tidak hanya menjadi cita-cita spiritual, tetapi juga kenyataan material.
Perpaduan keduanya menawarkan sebuah landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkeadaban.
Marhaenisme: Humanisme Materialis yang Berpihak
Marhaenisme, sebagai ideologi sosio-nasionalis yang digagas oleh Bung Karno, lahir dari pengamatan langsung terhadap penderitaan rakyat kecil, para petani gurem dan buruh miskin di Indonesia.
Konsep “marhaen” bukan sekadar representasi kelas proletar, melainkan individu yang memiliki alat produksi namun tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri karena sistem ekonomi yang eksploitatif. Inti dari Marhaenisme adalah humanisme materialis yang menuntut pembebasan dari segala bentuk penindasan ekonomi dan sosial.
Dalam perspektif kemanusiaan Marhaenisme, setiap individu berhak atas kehidupan yang layak, keadilan, dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Penindasan struktural, seperti kemiskinan dan ketidakadilan, dianggap sebagai penghalang fundamental bagi martabat kemanusiaan.
Oleh karena itu, perjuangan Marhaenisme adalah perjuangan untuk memanusiakan manusia, mengembalikan harkat dan martabat marhaen yang terampas. Bung Karno senantiasa menekankan bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang mampu memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite.
Tauhid NU: Fondasi Kemanusiaan Ilahiah
Di sisi lain, Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, memiliki pandangan yang kuat tentang kemanusiaan yang berakar pada ajaran Tauhid. Tauhid, sebagai prinsip keesaan Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga menjiwai seluruh aspek kehidupan, termasuk interaksi sosial dan kemanusiaan.
Dalam perspektif Tauhid NU, kemanusiaan adalah ciptaan Allah yang mulia (karamah insaniyah). Setiap manusia, tanpa memandang ras, suku, atau status sosial, memiliki derajat yang tinggi di hadapan Tuhan. Penindasan dan ketidakadilan terhadap sesama manusia adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai Tauhid itu sendiri. Karena, mengganggu ciptaan berarti mengganggu kehormatan Sang Pencipta.
NU dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah-nya sangat menjunjung tinggi nilai toleransi, keadilan, dan keseimbangan (tawazun). Konsep habluminannas (hubungan baik sesama manusia) menjadi implementasi nyata dari Tauhid dalam kehidupan sehari-hari.
Membantu yang lemah, menolong yang membutuhkan, dan memperjuangkan keadilan adalah manifestasi iman dan bentuk penghambaan kepada Allah. Kemanusiaan dalam pandangan NU tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan material, tetapi juga spiritual dan moral, menuju kehidupan yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Marhaenisme dan Tauhid dalam Melayani Kemanusiaan
Perpaduan antara Marhaenisme dan Tauhid NU dalam isu kemanusiaan menawarkan perspektif yang saling melengkapi dan menguatkan.
Humanisme Berlandaskan Ketuhanan, Marhaenisme memberikan basis perjuangan konkret untuk membebaskan manusia dari penindasan material, sementara Tauhid NU memberikan landasan spiritual dan moral bahwa perjuangan tersebut adalah bagian dari ibadah dan penghambaan kepada Tuhan. Kemanusiaan yang sejati tidak hanya sejahtera secara materi, tetapi juga bermartabat di mata Tuhan.
Keadilan Sosial sebagai Perintah Ilahi, Baik Marhaenisme maupun Tauhid NU sama-sama mendambakan keadilan sosial. Bagi Marhaenisme, keadilan sosial adalah prasyarat kemerdekaan sejati. Bagi Tauhid NU, keadilan adalah perintah ilahi yang harus ditegakkan sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, perjuangan untuk keadilan sosial tidak hanya bermakna politis-ekonomi, tetapi juga spiritual-religius.
Perjuangan perlawanan Mustadh’afin, Konsep marhaenisme Bung Karno yang berpihak pada kaum tertindas (mustadh’afin) selaras dengan ajaran Tauhid NU yang menyerukan kepedulian terhadap fakir miskin dan kaum yang terpinggirkan. Keduanya memiliki semangat yang sama untuk mengangkat derajat mereka yang lemah, menegakkan hak-hak mereka, dan menciptakan masyarakat yang berkeadilan.
Gotong Royong dan Solidaritas: Semangat gotong royong dalam Marhaenisme, yang menekankan kebersamaan dan solidaritas antar sesama, sangat relevan dengan nilai-nilai solidaritas sosial dalam NU yang terinspirasi dari ajaran Islam.
Dengan demikian, Marhaenisme ala Bung Karno dan perspektif religius Tauhid NU sejatinya dapat berdialektika secara harmonis. Marhaenisme menawarkan kerangka perjuangan untuk membebaskan kemanusiaan dari cengkeraman materialisme dan eksploitasi.
Sementara Tauhid NU memberikan fondasi moral dan spiritual bahwa perjuangan tersebut adalah panggilan suci untuk menegakkan martabat ciptaan Tuhan. Keduanya membentuk sinergi yang kuat dalam membangun Indonesia yang tidak hanya merdeka secara politik dan ekonomi, tetapi juga berkeadilan sosial dan bermartabat di hadapan Tuhan.

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings