in

Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Hegemoni Narasi, Resistensi Publik, dan Cerminan Perjuangan Kelas

Wacana penulisan ulang sejarah Indonesia bukanlah hal baru. Sejak kemerdekaan, narasi kolektif bangsa ini telah mengalami berbagai pergeseran, dipengaruhi oleh dinamika politik, sosial, dan intelektual. Namun, isu ini kembali mencuat ke permukaan dengan intensitas yang signifikan, seiring dengan pelantikan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, yang efektif mulai 20 Oktober 2024. Kedatangan Fadli Zon di pucuk kementerian yang membidangi warisan budaya dan sejarah bangsa ini sontak memicu gelombang pertanyaan dan kekhawatiran dari berbagai lapisan masyarakat, terutama kalangan akademisi, sejarawan, budayawan, dan aktivis.

Gagasan untuk “meluruskan” atau “menyempurnakan” narasi sejarah, yang seringkali dilemparkan sebagai solusi atas “distorsi” atau “bias” masa lalu, sejatinya selalu berujung pada perdebatan sengit. Data historis dan pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa upaya semacam ini tidak hanya berkaitan dengan pencarian kebenaran faktual, tetapi juga—dan seringkali lebih dominan—dengan pertarungan ideologi dan perebutan hegemoni kebenaran. Siapa yang memiliki kuasa untuk mendefinisikan masa lalu, secara implisit juga memiliki kekuatan untuk membentuk masa kini dan masa depan.

Fadli Zon, dikenal luas sebagai politisi dengan rekam jejak yang vokal dan pandangan yang seringkali provokatif, kini memegang kendali atas portofolio kebudayaan yang sangat krusial. Ini bukan sekadar tentang seni dan tradisi, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini memahami asal-usulnya, perjuangannya, dan nilai-nilai yang membentuk identitasnya. Meskipun detail mengenai landasan filosofis, tujuan spesifik, dan metodologi penulisan ulang sejarah yang diusungnya belum sepenuhnya transparan, kekhawatiran publik sudah terlanjur membayangi. Masyarakat dan para pakar mengamati dengan seksama, sebab sejarah Indonesia yang telah terbangun selama ini, meskipun tak luput dari kritik, koreksi, dan revisi akademis, merupakan hasil dialektika panjang dari berbagai pandangan, penelitian empiris, dan interpretasi yang terus berkembang.

Pertanyaannya kemudian, apakah penulisan ulang ini akan memperkaya khazanah historiografi nasional atau justru akan menjadi alat politik untuk merombak ulang memori kolektif bangsa?

Sejarah sebagai Alat Kekuasaan: Kekhawatiran Politisasi dan Penolakan dari Berbagai Kalangan

Salah satu argumen sentral yang kerap menjadi dasar bagi inisiatif penulisan ulang sejarah adalah klaim bahwa narasi yang ada saat ini bias, tidak lengkap, atau tidak sepenuhnya merepresentasikan fakta. Di balik klaim ini sering tersimpan adagium klasik bahwa “sejarah ditulis oleh pemenang” atau “sejarah adalah milik penguasa.” Adagium ini bukanlah sekadar ungkapan retoris; ia adalah refleksi dari realitas historis yang telah terbukti di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sepanjang perjalanan bangsa ini, rezim yang berkuasa memiliki kecenderungan kuat untuk membentuk dan menyebarkan narasi sejarah yang selaras dengan kepentingan politik, ideologi, dan agenda legitimasi kekuasaannya.

Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto adalah contoh paling gamblang bagaimana sejarah dapat didikte dan dimanipulasi demi kepentingan stabilitas dan kelanggengan kekuasaan. Melalui kurikulum pendidikan, media massa, dan lembaga-lembaga negara, narasi tunggal yang menonjolkan peran sentral Orde Baru sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunisme dan kekacauan digemakan secara masif. Sebaliknya, fakta-fakta yang tidak sesuai dengan narasi resmi, seperti pelanggaran hak asasi manusia atau kekerasan politik, cenderung diabaikan, direduksi, atau bahkan dihilangkan dari catatan sejarah publik. Ini adalah bukti nyata bahwa sejarah dapat menjadi senjata ampuh untuk membentuk kesadaran kolektif dan memanipulasi ingatan publik.

Potensi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional: Sebuah Rekayasa Sejarah?

Salah satu kekhawatiran terbesar yang mencuat seiring dengan wacana penulisan ulang sejarah nasional ini adalah potensi pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Gagasan ini telah lama menjadi polemik dan secara konsisten ditolak oleh berbagai kelompok masyarakat sipil, korban pelanggaran HAM, dan sejarawan kritis. Soeharto, yang memerintah Indonesia selama 32 tahun, dikenal sebagai sosok yang sangat otoriter dan militeristik. Selama rezimnya, banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat, mulai dari peristiwa 1965/1966, penembakan misterius (Petrus), kasus Talangsari, hingga kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Laporan Komnas HAM, berbagai organisasi HAM internasional, dan penelitian akademis telah mendokumentasikan secara ekstensif kekejaman-kekejaman ini.

Selain rekam jejak pelanggaran HAM, Soeharto juga dituduh sebagai presiden terkorup di dunia berdasarkan laporan lembaga seperti Transparency International dan Global Integrity. Kekayaan yang diduga berasal dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama masa pemerintahannya mencapai triliunan rupiah. Merekam ulang sejarah untuk mengabaikan atau mereduksi sisi gelap ini, demi mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional, adalah tindakan yang sangat berbahaya. Hal ini bukan hanya akan melukai perasaan korban dan keluarga mereka, tetapi juga akan menghapus jejak keadilan dan integritas dari narasi bangsa. Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional di tengah catatan gelap ini akan menjadi upaya rekayasa sejarah yang terang-terangan untuk melegitimasi otoritarianisme dan impunity di masa lalu, serta berpotensi menjustifikasi praktik-praktik serupa di masa depan.

Peran Militer dalam Legitimasi Kekuasaan dan Otoritarianisme melalui Sejarah

Dalam konteks Indonesia, terutama pada era otoriter, militer memegang peran yang sangat sentral dalam pembentukan dan manipulasi narasi sejarah untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bagaimana Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI/TNI) tidak hanya menjadi pilar keamanan, tetapi juga penjaga ideologi dan penentu kebenaran historis. Contoh paling menonjol adalah narasi tentang peristiwa 30 September 1965. Versi resmi yang dominan, disebarkan melalui film, buku pelajaran, dan peringatan nasional, menempatkan militer sebagai pahlawan penyelamat bangsa dari ancaman komunisme. Narasi ini secara sistematis mengaburkan fakta-fakta tentang peran militer dalam pembantaian massal, penangkapan sewenang-wenang, dan represi politik pasca-1965.

Tujuan utama dari penulisan ulang sejarah oleh militer atau rezim otoriter adalah untuk:

Membangun Legitimasi Politik: Dengan menampilkan diri sebagai aktor sentral dalam menyelamatkan bangsa dari ancaman atau menjaga stabilitas, militer dapat mengklaim legitimasi moral dan politik untuk memegang kekuasaan. Sejarah disulap menjadi alat propaganda yang menjustifikasi dominasi mereka.

Menjustifikasi Otoritarianisme: Narasi tentang ancaman laten dan kebutuhan akan “stabilitas” seringkali digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan represif dan pembatasan hak-hak sipil. Militer digambarkan sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu menjaga ketertiban, sehingga otoritarianisme dianggap sebagai keniscayaan.

Mengukuhkan Hegemoni Ideologi: Sejarah digunakan untuk menanamkan ideologi tertentu (misalnya, anti-komunisme, Pancasila versi tertentu) dan menekan ideologi-ideologi alternatif. Ini dilakukan dengan mengasosiasikan ideologi yang ditentang dengan kekacauan dan ancaman terhadap bangsa.

Menghilangkan Jejak Pelanggaran HAM: Bagian paling gelap dari sejarah yang melibatkan kekerasan negara atau pelanggaran HAM berat seringkali dihilangkan atau direduksi agar militer dan rezim yang berkuasa tidak tercoreng citranya. Ini menciptakan “amnesia kolektif” yang disengaja.

Wacana penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan di bawah Fadli Zon, yang memiliki kedekatan dengan kalangan politik tertentu dan rekam jejak dalam mempertanyakan narasi resmi, menimbulkan kekhawatiran bahwa pola serupa dapat terulang. Jika upaya ini melibatkan revisi yang mengurangi peran kritik terhadap militer atau menghilangkan aspek-aspek kontroversial dari sejarah yang melibatkan aktor-aktor keamanan, maka itu adalah langkah mundur bagi historiografi kritis dan rekonsiliasi nasional.

Kekhawatiran inilah yang menjadi motor penggerak bagi berbagai kelompok yang menolak keras wacana penulisan ulang sejarah yang dipelopori oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Kelompok-kelompok ini sangat beragam, mencakup:

Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI): Ini adalah koalisi masyarakat sipil yang paling vokal menolak proyek penulisan “sejarah resmi” Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan. AKSI beranggotakan puluhan tokoh akademisi, ahli, dan aktivis dari berbagai latar belakang, termasuk Marzuki Darusman (mantan Jaksa Agung dan tokoh HAM), Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia), Usman Hamid, SH.LLM (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), Prof. Dr. Asvi Warman Adam (Sejarawan senior LIPI/BRIN), Dr. Andi Achdian (Sejarawan), Ita Fatia Nadia, MA. (Sejarawan feminis, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS)), Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian), Karlina Supelli (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara), Martin Suryajaya (Pengajar filsafat Institut Kesenian Jakarta), Pande K. Trimayuni, M.Sc. (Penulis dan Peneliti, juga aktivis 1998), Dr. Grace Leksana (Utrecht Universiteit), dan Dr. Ratna Hapsari (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia). AKSI secara tegas menyatakan bahwa negara tidak berhak memberi tafsir tunggal atas sejarah, dan penulisan ulang sejarah bisa digunakan untuk menutupi dosa masa lalu, khususnya pelanggaran berat HAM, serta menolak pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Mereka telah menyampaikan penolakan ini melalui audiensi dengan Komisi X DPR RI dan meluncurkan petisi daring yang mengajak masyarakat untuk berpartisipasi.

Sejarawan Profesional dan Akademisi Independen: Selain yang tergabung dalam AKSI, banyak sejarawan lain dari berbagai universitas dan lembaga riset yang secara individual atau melalui asosiasi profesi seperti Asosiasi Sejarah Indonesia (ASI) atau Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), menolak proyek ini. Mereka berargumen bahwa historiografi adalah disiplin ilmu yang terikat pada metodologi ilmiah, verifikasi sumber, dan prinsip objektivitas serta multiperspektivitas. Upaya penulisan ulang yang didasari kepentingan politik, tanpa riset mendalam dan debat akademis sehat, dianggap sebagai pelecehan terhadap integritas ilmu sejarah. Kekhawatiran utama mereka adalah potensi “pemutihan” atau penghilangan fakta-fakta kelam yang tak sesuai dengan narasi yang ingin dibangun penguasa, termasuk mengenai peran otoriter Soeharto.

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM): Kelompok ini, termasuk KontraS, Imparsial, dan jaringan aktivis HAM lainnya, sangat khawatir bahwa penulisan ulang sejarah akan menjadi alat untuk mereduksi, menyangkal, atau bahkan mengampuni pelaku pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang terjadi di bawah rezim Soeharto. Mereka menuntut pengungkapan kebenaran yang menyeluruh dan berkeadilan sebagai prasyarat rekonsiliasi.

Organisasi Kemahasiswaan: Beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), secara tegas menyatakan penolakan terhadap wacana penulisan ulang sejarah, terutama yang terkait dengan pandangan Fadli Zon mengenai durasi penjajahan Belanda yang dianggap keliru dan tidak mencerminkan semangat kebangsaan, dan juga secara implisit menolak upaya glorifikasi Soeharto.

Budayawan dan Seniman: Mereka juga menyuarakan kekhawatiran bahwa distorsi sejarah akan membatasi kebebasan berekspresi dan menghadirkan narasi yang tidak otentik, memecah belah masyarakat dengan mengklaim kebenaran tunggal, dan khawatir jika pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan menjadi preseden buruk bagi pengakuan terhadap figur-figur yang memiliki catatan gelap.

Baca Juga  Peran Anak Muda dalam Pilkada Polman 2024 dan Harapan untuk Polman di Masa Mendatang

Masyarakat Sipil Kritis dan Komunitas Diskusi: Banyak individu dan kelompok masyarakat sipil yang aktif dalam diskusi publik mengenai isu-isu kebangsaan juga menunjukkan penolakan. Penolakan mereka seringkali berbasis pada prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi publik dalam pembentukan narasi sejarah, mengkhawatirkan bahwa inisiatif ini dapat memecah belah bangsa dengan menghadirkan “sejarah versi negara” yang mengabaikan pluralitas pengalaman.

Kelompok-kelompok ini bersatu dalam argumen bahwa sejarah harus tetap menjadi domain ilmiah, di mana kebenaran dicari melalui riset mendalam, verifikasi sumber yang cermat, dan debat terbuka yang melibatkan berbagai sudut pandang. Mereka menentang keras gagasan bahwa sejarah dapat didikte atau dipolitisasi untuk kepentingan sesaat. Bagi mereka, manipulasi sejarah bukan hanya merusak integritas akademis, tetapi juga merusak fondasi moral dan intelektual sebuah bangsa.

Melampaui Narasi Tunggal: Perspektif tentang Pentingnya Sejarah yang Adil dan Komprehensif

Pertarungan narasi atas penulisan ulang sejarah yang diinisiasi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menggarisbawahi urgensi untuk merenungkan kembali hakikat dan pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa. Lebih dari sekadar kumpulan fakta dan tanggal, sejarah adalah fondasi kolektif yang membentuk identitas, memori, dan arah masa depan suatu komunitas. Ia bukan sekadar catatan pasif tentang apa yang telah terjadi, melainkan kekuatan aktif yang terus berdialog dengan masa kini dan memengaruhi bagaimana kita melihat diri sendiri dan orang lain.

Pertama, sejarah adalah guru kehidupan. Pepatah kuno Latin, Historia Magistra Vitae, yang berarti “sejarah adalah guru kehidupan,” menegaskan bahwa dengan memahami masa lalu, kita dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan para pendahulu. Dari perjuangan kemerdekaan, gejolak politik, hingga krisis ekonomi, setiap episode sejarah mengandung pelajaran berharga yang dapat membimbing kita dalam menghadapi tantangan kontemporer. Memahami sebab-akibat suatu peristiwa di masa lalu dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih bijak di masa kini dan merancang strategi yang lebih efektif untuk masa depan. Tanpa pemahaman yang jujur dan komprehensif tentang sejarah, kita berisiko mengulangi kesalahan yang sama, terjebak dalam siklus konflik yang tidak perlu, atau kehilangan arah dalam pembangunan bangsa.

Kedua, sejarah membentuk identitas nasional. Narasi kolektif tentang asal-usul, nilai-nilai, dan perjuangan bersama adalah perekat yang menyatukan beragam elemen dalam sebuah bangsa. Sejarah bukan hanya tentang pahlawan dan kemenangan, tetapi juga tentang pengorbanan, penderitaan, dan kerentanan. Mengakui seluruh spektrum pengalaman ini, termasuk sisi-sisi kelam atau kontroversialnya, memungkinkan sebuah bangsa untuk memiliki pemahaman yang lebih matang dan otentik tentang siapa dirinya. Ketika sejarah direduksi menjadi narasi tunggal yang memuji-muji atau menyembunyikan, ia dapat merusak fondasi identitas ini, menciptakan keretakan antara memori resmi dan pengalaman hidup masyarakat, serta memicu alienasi di kalangan kelompok-kelompok yang merasa tidak terwakili.

Ketiga, sejarah adalah pilar keadilan dan rekonsiliasi. Bagi masyarakat yang pernah mengalami konflik, penindasan, atau pelanggaran hak asasi manusia massal, pengungkapan kebenaran sejarah adalah prasyarat mutlak untuk mencapai keadilan transisional dan rekonsiliasi. Ini bukan berarti mengungkit luka lama untuk memperpanjang permusuhan, melainkan untuk memahami akar masalah, mengakui penderitaan korban, dan memastikan bahwa kekejaman serupa tidak terulang di masa depan. Upaya untuk menghapus atau memutihkan fakta-fakta kelam di masa lalu, sebaliknya, hanya akan menunda penyembuhan, memperpanjang ketidakadilan, dan merusak kepercayaan publik terhadap negara. Sejarah yang adil, yang berani menghadapi bayang-bayang masa lalu, adalah fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berempati.

Keempat, sejarah memupuk pemikiran kritis dan multiperspektivitas. Dalam sebuah masyarakat yang kompleks dan demokratis, sangat penting untuk memahami bahwa tidak ada satu pun “kebenaran tunggal” yang absolut dalam sejarah. Setiap peristiwa dapat diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang, tergantung pada latar belakang, pengalaman, dan kepentingan pihak yang menafsirkannya. Mempelajari sejarah dengan pendekatan multiperspektif melatih kita untuk berpikir kritis, mempertanyakan asumsi, dan menerima keberagaman interpretasi. Ini adalah antidot terhadap dogmatisme dan intoleransi. Ketika sejarah dipaksakan sebagai narasi tunggal yang didikte oleh kekuasaan, ia justru membunuh semangat penyelidikan ilmiah, membungkam perbedaan pendapat, dan merampas hak warga negara untuk menafsirkan masa lalunya sendiri.

Terakhir, sejarah adalah amanah kolektif. Warisan sejarah adalah milik seluruh bangsa, bukan monopoli sekelompok kecil elite atau penguasa. Penulisan dan interpretasi sejarah harus menjadi proses partisipatif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, sumber, dan suara dari masyarakat. Oleh karena itu, inisiatif penulisan ulang sejarah yang tidak transparan, tidak partisipatif, dan cenderung politis, merupakan bentuk perampasan atas hak kolektif bangsa untuk memahami masa lalunya.

Dengan demikian, polemik di sekitar inisiatif Menteri Kebudayaan Fadli Zon bukan sekadar perdebatan akademis semata. Ini adalah pertaruhan besar tentang bagaimana Indonesia akan memahami dirinya sendiri, bagaimana ia akan belajar dari masa lalu, dan bagaimana ia akan membangun fondasi untuk masa depan yang lebih adil dan damai. Pentingnya sejarah yang adil, komprehensif, dan terbuka terhadap berbagai perspektif menjadi semakin krusial dalam menghadapi potensi fragmentasi narasi dan manipulasi ingatan kolektif.

Hegemoni Negara dalam Pembentukan Sejarah: Antara Kontrol dan Perlawanan

Pembahasan mengenai penulisan ulang sejarah tidak bisa dilepaskan dari konsep hegemoni negara. Dalam konteks ini, hegemoni merujuk pada dominasi ideologis dan kultural yang diterapkan oleh negara atau kelompok penguasa, sehingga pandangan mereka tentang dunia—termasuk sejarah—dianggap sebagai kebenaran umum atau “akal sehat” oleh sebagian besar masyarakat. Negara, melalui aparatusnya seperti lembaga pendidikan, media massa yang dikendalikan, hingga birokrasi kementerian, memiliki kapasitas dan kepentingan besar untuk menciptakan dan mempertahankan narasi sejarah yang mendukung legitimasinya.

Kaitan antara hegemoni negara dan upaya penulisan ulang sejarah sangatlah erat. Sejarah adalah salah satu alat paling efektif bagi negara untuk membangun kesadaran kolektif, menanamkan nilai-nilai yang diinginkan, dan mengokohkan identitas nasional yang selaras dengan visi penguasa. Jika sebuah rezim merasa bahwa narasi sejarah yang ada tidak cukup kuat mendukung kepentingannya, atau bahkan mengandung elemen yang dapat merusak citranya, maka upaya untuk “menulis ulang” atau “merevisi” sejarah menjadi strategi yang sangat menggoda. Ini bukan sekadar koreksi akademis, melainkan sebuah manuver politik untuk merebut dan mengkonsolidasikan hegemoni naratif.

Sebagai contoh, di masa Orde Baru, hegemoni negara atas sejarah diwujudkan melalui kontrol ketat terhadap kurikulum pendidikan sejarah, produksi buku-buku sejarah resmi, dan bahkan film-film propaganda seperti “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.” Narasi yang dibangun bertujuan untuk menanamkan kebencian terhadap komunisme, menonjolkan peran militer dalam menjaga stabilitas, dan mengultuskan figur Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Masyarakat dididik untuk menerima narasi tunggal ini sebagai kebenaran mutlak, meminggirkan atau bahkan menindas pandangan alternatif. Hal ini menciptakan sebuah “sejarah resmi” yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan politik.

Dalam konteks wacana yang diinisiasi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, kekhawatiran tentang hegemoni negara ini menjadi sangat relevan. Apabila penulisan ulang sejarah dilakukan secara top-down, tanpa proses konsultasi yang luas dan transparan dengan para ahli independen, serta tanpa membuka ruang bagi multiperspektivitas, maka itu adalah upaya negara untuk kembali menegaskan hegemoninya atas narasi masa lalu. Tujuannya mungkin adalah untuk membentuk “identitas baru” yang lebih sesuai dengan ideologi kabinet yang berkuasa, menguatkan legitimasi kepemimpinan saat ini, atau bahkan “meluruskan” pandangan tentang tokoh atau peristiwa tertentu yang dianggap penting bagi rezim.

Namun, hegemoni tidak pernah sepenuhnya mutlak. Selalu ada ruang untuk perlawanan hegemoni atau kontra-hegemoni. Perlawanan ini muncul dari kelompok-kelompok yang merasa narasi resmi tidak mewakili pengalaman atau kebenaran mereka. Sejarawan independen yang terus melakukan riset kritis, aktivis HAM yang menuntut pengungkapan kebenaran, budayawan yang mengekspresikan kritik melalui karya seni, serta komunitas masyarakat sipil yang membangun diskusi alternatif, adalah agen-agen kontra-hegemoni ini. Mereka berupaya mengikis monopoli negara atas kebenaran sejarah dan menawarkan narasi yang lebih inklusif, adil, dan berbasis bukti.

Generasi Z: Antara Skeptisisme Digital dan Potensi Manipulasi Sejarah

Dalam konteks perdebatan tentang penulisan ulang sejarah dan hegemoni negara, posisi Generasi Z menjadi sangat menarik dan krusial. Lahir dan tumbuh besar di era digital yang terkoneksi secara global, Gen Z (mereka yang lahir kira-kira antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an) memiliki karakteristik unik yang membuat mereka berbeda dalam menyikapi informasi, otoritas, dan narasi sejarah.

Di satu sisi, Generasi Z dikenal dengan sikap skeptisnya terhadap otoritas dan institusi tradisional, termasuk pemerintah. Mereka terbiasa dengan akses informasi yang instan dan beragam dari berbagai sumber di internet. Ini memupuk kecenderungan untuk memverifikasi informasi, mempertanyakan narasi tunggal, dan mencari kebenaran dari berbagai sudut pandang. Mereka tidak mudah menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh saluran resmi atau media arus utama. Keakraban mereka dengan media sosial dan platform digital lainnya membuat mereka lebih cepat dalam mengidentifikasi inkonsistensi atau bias dalam narasi. Sikap kritis ini bisa menjadi benteng pertahanan yang kuat terhadap upaya manipulasi sejarah oleh penguasa. Mereka cenderung lebih terbuka terhadap diskusi, perdebatan, dan perspektif alternatif, bahkan jika itu berarti menantang narasi yang telah lama dipegang.

Namun, di sisi lain, Generasi Z juga merupakan objek yang rentan terhadap manipulasi sejarah, terutama melalui disinformasi dan hoaks yang tersebar luas di dunia digital. Meskipun mereka skeptis, banjir informasi yang tak terfilter juga bisa menyebabkan kebingungan dan kesulitan dalam membedakan fakta dari fiksi. Algoritma media sosial cenderung menciptakan “gelembung filter” dan “ruang gema” yang memperkuat pandangan yang sudah ada, sehingga mereka mungkin terpapar pada narasi sejarah yang bias tanpa menyadarinya. Selain itu, kecepatan penyebaran informasi di platform digital berarti bahwa narasi yang dimanipulasi dapat menyebar luas sebelum kebenaran dapat diverifikasi dan dikoreksi. Kemasan konten sejarah yang menarik secara visual dan naratif di platform seperti TikTok atau YouTube, meskipun edukatif, juga bisa menjadi celah bagi penyisipan agenda tersembunyi atau distorsi fakta yang halus.

Upaya penulisan ulang sejarah oleh pemerintah, seperti yang mungkin diinisiasi oleh Menteri Kebudayaan, dapat menargetkan Generasi Z secara spesifik. Mereka bisa menggunakan media digital dan format yang menarik bagi Gen Z untuk menyebarkan narasi baru yang bertujuan untuk membentuk pandangan historis mereka. Ini bisa berupa konten video pendek yang dramatis, infografis yang menyederhanakan peristiwa kompleks, atau kampanye daring yang mempromosikan interpretasi sejarah tertentu. Tujuannya adalah untuk menanamkan “memori kolektif” yang baru dan sesuai dengan kepentingan negara, memanfaatkan celah dalam literasi digital dan kritis yang mungkin dimiliki sebagian Gen Z.

Baca Juga  Menelisik Nasib Indonesia di Antara Rudal Iran Vs Israel

Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan literasi sejarah dan kritis di kalangan Generasi Z. Mereka perlu diajarkan tidak hanya “apa” yang terjadi, tetapi juga “bagaimana” sejarah ditulis, “siapa” yang menulisnya, dan “mengapa” ada berbagai interpretasi. Memberdayakan Gen Z dengan kemampuan untuk mengevaluasi sumber informasi, mengidentifikasi bias, dan mencari bukti yang kuat adalah kunci untuk melawan manipulasi sejarah. Mereka harus didorong untuk menjadi “produsen” sejarah kritis, bukan sekadar “konsumen” pasif dari narasi yang disajikan oleh otoritas. Hanya dengan demikian, sikap skeptis yang mereka miliki dapat bertransformasi menjadi kekuatan yang nyata dalam menjaga integritas sejarah bangsa.

Politik Alternatif dan Revolusi Sejarah: Sebuah Perspektif Sosialis dan Cerminan Perjuangan Kelas

Melihat betapa kuatnya cengkeraman hegemoni negara dan kekuatan militer dalam membentuk narasi sejarah demi kepentingan legitimasi otoritarianisme, terutama dalam upaya memutihkan citra tokoh seperti Soeharto, munculah sebuah pertanyaan fundamental: apakah hanya dengan wacana tandingan dan peningkatan literasi sejarah kita bisa mencapai keadilan historis? Dari perspektif sosialis, jawaban atas pertanyaan ini adalah tidak sepenuhnya.

Bagi pemikir sosialis, akar masalah dari manipulasi sejarah adalah struktur kekuasaan yang tidak adil dan dominasi kelas penguasa. Sejarah, dalam pandangan ini, bukanlah sekadar alat propaganda, melainkan cerminan dari perjuangan kelas dan kepentingan material. Penguasa, termasuk elite politik dan militer, akan selalu berusaha mengontrol narasi sejarah untuk mempertahankan status quo dan menekan kesadaran kritis massa. Oleh karena itu, solusi fundamental tidak bisa hanya berhenti pada perdebatan intelektual, melainkan harus menyentuh struktur kekuasaan itu sendiri.

Perspektif sosialis mengusulkan politik alternatif yang revolusioner sebagai jalan keluar. Ini bukan sekadar pergantian rezim semata, tetapi sebuah transformasi mendasar terhadap sistem politik dan ekonomi yang memungkinkan otoritarianisme dan manipulasi sejarah bersemi. Tujuannya adalah untuk:

Merebut Kekuasaan dari Otoritarianisme: Politik revolusioner berarti membangun kekuatan rakyat yang mampu menantang dan merebut kekuasaan dari tangan rezim otoriter atau elit yang korup. Ini melibatkan mobilisasi massa, pembentukan gerakan sosial yang kuat, dan perjuangan untuk mendirikan pemerintahan yang benar-benar demokratis dan akuntabel kepada rakyat, bukan kepada kepentingan segelintir elite. Tanpa perubahan struktural dalam kekuasaan, upaya untuk “meluruskan” sejarah akan selalu berbenturan dengan kepentingan penguasa yang ingin mempertahankannya.

Membuka Sejarah yang Adil Sesuai Fakta: Setelah kekuasaan direbut oleh kekuatan rakyat, barulah kondisi untuk membuka dan menulis ulang sejarah secara adil dan sesuai fakta dapat tercipta. Ini berarti membongkar semua arsip yang disembunyikan, membentuk komisi kebenaran yang independen, melibatkan partisipasi luas dari korban dan masyarakat, serta membebaskan sejarawan dari segala bentuk intervensi politik. Sejarah yang baru harus bersifat inklusif, mengakui semua penderitaan, mengidentifikasi semua pelaku kejahatan, dan memberikan ruang bagi narasi dari kelompok-kelompok yang selama ini dibungkam. Ini adalah proses “revolusi sejarah” yang akan membebaskan kebenaran dari belenggu kekuasaan.

Membangun Pendidikan Sejarah yang Berbasis Kritis dan Partisipatif: Dalam sistem yang transformatif, pendidikan sejarah tidak lagi menjadi alat indoktrinasi. Sebaliknya, ia akan menjadi instrumen untuk memupuk kesadaran kritis, analisis struktural, dan pemahaman tentang dinamika kekuasaan dalam sejarah. Anak-anak muda akan diajarkan untuk memahami bagaimana sejarah digunakan sebagai alat hegemoni, dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi dalam pembentukan narasi sejarah yang lebih adil dan emansipatoris.

Memutus Lingkaran Impunity: Dalam perspektif sosialis, keadilan sejarah tidak hanya tentang narasi, tetapi juga tentang akuntabilitas. Rezim otoriter seringkali melindungi pelaku pelanggaran HAM. Politik alternatif yang revolusioner harus memastikan bahwa semua pelaku pelanggaran HAM di masa lalu diadili dan dihukum, tanpa memandang pangkat atau posisi. Ini adalah langkah krusial untuk memutus lingkaran impunity dan menegakkan keadilan yang menjadi prasyarat bagi sejarah yang jujur.

Oleh karena itu, bagi sebagian pihak, polemik penulisan ulang sejarah yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon adalah gejala dari masalah yang lebih besar: struktur kekuasaan yang masih rentan terhadap otoritarianisme dan manipulasi. Solusi sejati, menurut pandangan sosialis, tidak terletak pada upaya tambal sulam, melainkan pada perubahan politik yang mendasar, yang akan menciptakan kondisi di mana kebenaran sejarah dapat muncul dan diakui secara genuine dan tidak terdistorsi oleh kepentingan penguasaan. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya mengkritisi narasi, tetapi juga menantang dan mengubah sistem yang melahirkan narasi-narasi yang menindas itu.

Ancaman Hegemoni Narasi Fiktif dan Urgensi Wacana Tandingan

Mengingat potensi dampak negatif yang masif, jika kebijakan penulisan ulang sejarah yang bias ditetapkan, maka mutlak diperlukan adanya wacana tandingan yang kuat, berkelanjutan, dan terorganisir. Wacana tandingan ini adalah strategi krusial untuk menyelamatkan hegemoni kebenaran dari upaya-upaya negara yang mungkin menciptakan sejarah fiktif dan tidak adil. Ini adalah perlawanan intelektual dan moral untuk mempertahankan integritas sejarah sebagai ilmu dan sebagai warisan kolektif yang otentik.

Berikut adalah beberapa strategi konkret untuk membangun wacana tandingan tersebut:

Penguatan Riset Sejarah Independen dan Multi-perspektif: Peran sejarawan dan akademisi independen menjadi sangat vital. Mereka harus didukung untuk terus melakukan riset mendalam, menggali sumber-sumber baru, dan menyajikan temuan mereka secara terbuka dan jujur, tanpa tekanan dari pihak mana pun. Organisasi profesi seperti Asosiasi Sejarah Indonesia (ASI) atau Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), serta pusat-pusat studi sejarah di universitas, harus menjadi benteng pertahanan bagi integritas ilmiah. Publikasi jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, dan monograf yang didasarkan pada riset yang ketat harus didorong dan disebarluaskan secara luas. Penting pula untuk terus mendorong penulisan sejarah dari berbagai perspektif, termasuk dari “pihak yang kalah” atau kelompok-kelompok yang suaranya sering terpinggirkan (seperti perempuan, minoritas etnis/agama, atau masyarakat adat), agar narasi yang muncul lebih kaya dan berimbang.

Pendidikan Sejarah Kritis di Semua Jenjang: Kurikulum sejarah di sekolah dan perguruan tinggi harus dirancang untuk memupuk pemikiran kritis, bukan indoktrinasi. Siswa dan mahasiswa harus diajarkan bagaimana menganalisis sumber-sumber sejarah, mengidentifikasi bias, dan memahami bahwa setiap narasi adalah tafsir. Mereka perlu diperkenalkan pada berbagai interpretasi tentang suatu peristiwa dan dilatih untuk membentuk pandangan mereka sendiri berdasarkan bukti. Program-program pelatihan untuk guru sejarah juga harus fokus pada pedagogi kritis, memungkinkan mereka untuk mengajarkan sejarah sebagai arena diskusi dan penyelidikan, bukan sekadar hafalan fakta.

Memperkuat Peran Arsip Nasional dan Aksesibilitas Sumber: Arsip nasional dan daerah merupakan “laboratorium” bagi sejarawan. Integritas dan independensi lembaga arsip harus dijaga. Aksesibilitas terhadap dokumen-dokumen sejarah, termasuk yang sensitif, harus dipermudah bagi peneliti. Transparansi dalam pengelolaan arsip dan dokumen negara sangat penting agar tidak ada celah untuk manipulasi atau penghilangan bukti. Dukungan terhadap inisiatif digitalisasi arsip juga penting untuk memudahkan akses dan penyebarluasan materi sejarah kepada publik yang lebih luas.

Memfasilitasi Diskusi Publik dan Forum Akademik Terbuka: Penting untuk menciptakan dan memelihara ruang-ruang diskusi publik yang aman dan inklusif. Seminar, lokakarya, debat, dan diskusi panel yang melibatkan sejarawan, akademisi, aktivis, budayawan, dan masyarakat umum harus digalakkan. Forum-forum ini dapat menjadi platform untuk membahas isu-isu sejarah secara mendalam, mengklarifikasi kesalahpahaman, dan menawarkan perspektif alternatif terhadap narasi resmi. Media massa, baik tradisional maupun digital, memiliki peran krusial dalam memfasilitasi dan menyebarluaskan diskusi-diskusi ini kepada khalayak yang lebih luas.

Pemanfaatan Teknologi Digital dan Media Alternatif: Di era digital, internet dan media sosial menjadi alat yang sangat ampuh untuk menyebarkan informasi dan membangun narasi tandingan. Sejarawan dan aktivis dapat menggunakan platform digital untuk mempublikasikan riset, membuat konten edukatif (video, infografis, podcast), membangun arsip digital tandingan, atau bahkan meluncurkan kampanye kesadaran publik. Blog, website, dan platform media sosial dapat digunakan untuk menantang disinformasi dan menyajikan fakta-fakta serta interpretasi yang terverifikasi kepada audiens yang lebih luas, menjangkau generasi muda yang mungkin tidak terpapar melalui saluran tradisional.

Penguatan Jaringan Solidaritas Lintas Sektor: Penolakan terhadap politisasi sejarah harus melibatkan berbagai elemen masyarakat. Jaringan solidaritas antara sejarawan, akademisi, aktivis HAM, budayawan, seniman, jurnalis, dan komunitas masyarakat sipil harus diperkuat. Melalui kolaborasi, mereka dapat menggalang kekuatan untuk menyuarakan keberatan, melakukan advokasi, dan menciptakan proyek-proyek bersama yang mendukung narasi sejarah yang lebih jujur dan adil.

Pada akhirnya, sejarah adalah warisan kolektif yang harus dijaga keotentikannya. Ia bukan alat kekuasaan yang bisa dibengkokkan sesuai selera penguasa, melainkan cermin bagi refleksi bangsa, sumber pelajaran, dan fondasi identitas. Jika sejarah menjadi milik penguasa atau para pemenang semata, maka kebenaran, keadilan, dan kesempatan untuk belajar dari masa lalu akan menjadi korban pertama. Tugas kita bersama, sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsa, adalah memastikan bahwa historiografi Indonesia tetap menjadi ladang ilmu pengetahuan yang jujur, terbuka, dan inklusif, bukan panggung bagi kepentingan politik sesaat yang berupaya merekonstruksi memori kolektif demi agenda sempit. Perlawanan terhadap hegemoni narasi fiktif, yang berpotensi mengangkat tokoh dengan catatan gelap seperti Soeharto sebagai pahlawan nasional, adalah perjuangan untuk mempertahankan akal sehat, keadilan, dan integritas moral sebuah bangsa. Dalam konteks ini, peran militer dalam pembentukan narasi historis dan peran Generasi Z sebagai agen perubahan atau target manipulasi akan sangat menentukan arah historiografi nasional di masa depan, seiring dengan wacana sosialis yang menyerukan politik alternatif revolusioner sebagai solusi fundamental untuk mencapai keadilan historis.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Syaharuddin Zaruk

Budak Korporat

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Direbutnya Kedaulatan Daerah Oleh Pusat.

Dinamika Pertambangan di Sulawesi Barat: Antara Kemajuan Ekonomi dan Masa Depan Ekosistem