in

Fadli Zon Menyangkal Luka Kolektif 1998: Ketika Kebodohan dan Penghinaan Dipadukan

Ada luka yang tidak boleh dipermainkan. Luka yang terlalu dalam untuk dijadikan bahan debat politik atau permainan retorika, atau bahkan bacotan yang sengaja digaungkan dalam upaya pengaburan sejarah. Salah satunya adalah tragedi kemanusiaan Mei 1998-saat negara ini terbakar oleh amarah, ketakutan, dan air mata. Ketika perempuan-perempuan keturunan Tionghoa diperkosa, dihina, dilucuti haknya atas tubuh dan martabatnya-di hadapan negara yang diam.

Baru-baru ini, publik kembali gaduh oleh pernyataan Fadli Zon yang bahkan saat ini berkapasitas sebagai Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, seorang politisi yang juga tersemat “aktivis 98” dalam rekam jejak hidupnya. Fadli Zon sudah tidak asing dengan panggung wacana publik, pernyataan kontroversi pun juga tidak baru ini ia keluarkan dari congornya. Namun pernyataan yang meragukan fakta-fakta terkait perkosaan massal yang dialami etnis Tionghoa tahun 1998 tidak hanya kontroversi tetapi juga sebuah kebodohan dan bahkan penghinaan.

Bagaimana publik tidak gaduh, selama ini kita berharap, setelah lebih dari dua dekade reformasi, sudah tidak ada lagi elite atau siappun yang tega menyiram bensin ke atas luka yang belum sembuh itu.

Pernyataan Fadli Zon bukan sekadar blunder. Ia adalah bentuk amnesia politik. Tidak hanya menampilkan kebodohan tetapi juga menamparkan penghinaan atas kebenaran sejarah-dan barangkali juga pilihan ideologis-yang menafikan pengalaman kolektif, laporan-laporan investigatif, dan testimoni dari korban serta para penyintas yang selama ini dibungkam oleh rasa takut, stigma, dan negara yang tidak hadir.

Mari kita buka kembali lembaran sejarah. Komnas Perempuan, dalam laporannya tahun 1998 dan 1999, menyebut ada indikasi kuat dan konsisten tentang kekerasan seksual sistematis yang menargetkan perempuan Tionghoa. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie pun menyatakan bahwa “ada kekerasan seksual yang terjadi dan ada kemungkinan kuat bahwa itu dilakukan secara sistematis.” Kalimat yang disusun dengan sangat diplomatis itu bukan tanpa sebab, ia lahir dari kompromi politik dan sensitivitas rasial yang tinggi. Tapi intinya jelas: kekerasan itu nyata.

Baca Juga  Negeri Mesin Ketik: Ketika Sejarah Dihapus, Ingatan Dipoles

Pernyataan Fadli Zon tentu memicu kemarahan publik khususnya para pegiat HAM, aktivis perempuan terlebih para penyintas. Ita Fatiah Nadia dalam wawancara dengan Tempo.co mengatakan “Dia berdusta di ruang publik, Ini fakta, bukan rumor” ia kemudian menambahkan “Kalau Fadli Zon menyangkal, berarti dia juga menyangkal pendirian Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) dan pembentukannya berdasarkan keputusan Presiden B.J. Habibie.”[1]

Dalam laporan TGPF 98 juga juga mencatat bahwa ada 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Seluruh rangkaian kekerasan tersebut terjadi di berbagai kota-kota besar. Tim TGPF 98 juga menambahkan bahwa hal tersebut bukanlah serangan yang lahir dari spontanitas melainkan adanya pola yang sistematis dengan menyasar perempuan etnis Tionghoa.[2]

Barangkali kita juga perlu mengingatkan Fadli Zon tentang kisah Ita. Ita Martadinata Haryono (17 tahun) merupakan salah-satu penyintas yang berani bersuara. Tidak hanya itu, ia dan Ibunya bahkan terlibat dalam aktifitas konseling untuk para korban kekerasan seksual. Ita yang direncanakan akan berangkat ke Amerika guna memberikan kesaksian atas pelanggaran HAM, kekerasaan seksual dan perkosaan massal 98 dalam dalam sidang PBB. Namun, sehari sebelumnya Ita ditemukan tewas dengan tragis di kamarnya, Pemberitaan media massa saat itu membingkai pembunuhan Ita Martadina sebagai peristiwa insidental dan mengorek kehidupan personalnya, alih-alih membuat hubungan dengan fakta rencana Ita untuk bersaksi di siding PBB.[3]

Lantas, dengan segala dokumen, laporan, dan luka yang belum sembuh itu, apa yang membuat Fadli Zon masih menyangkal itu? Apakah karena tidak adanya rekaman CCTV atau bukti-bukti forensik seperti dalam serial kriminal di Netflix? Atau karena ia menilai bahwa kesaksian korban dan saksi tak cukup sahih untuk disebut “fakta”?

Baca Juga  Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Hegemoni Narasi, Resistensi Publik, dan Cerminan Perjuangan Kelas

Ini bukan soal data semata. Ini soal kepekaan. Soal bagaimana tokoh publik yang merepresentasikan pemerintah berbicara di ruang publik tanpa menambah beban bagi korban yang sudah bertahun-tahun memikul rasa bersalah atas kekerasan yang bukan kesalahan mereka. Pernyataan seperti ini bukan hanya menyakitkan-ia juga mengancam narasi kebenaran yang dengan susah payah diperjuangkan oleh aktivis perempuan, pegiat HAM, dan penyintas itu sendiri.

Sikap Fadli Zon juga mencerminkan masalah yang lebih besar di republik ini: keberanian untuk bicara di luar konteks, tanpa empati, dan sering kali tanpa tanggung jawab moral. Ketika seorang politisi menafikan tragedi seperti itu, ia bukan sedang berdiskusi akademik-ia sedang mencabut pondasi keadilan dari ingatan bangsa.

Kita harus tegas: reformasi 1998 tidak bisa dirayakan tanpa mengakui luka-luka yang menyertainya. Tidak bisa bicara soal demokrasi tanpa menyentuh darah dan air mata perempuan-perempuan yang tubuhnya dijadikan medan perang politik dan rasial. Mengingkari perkosaan massal bukan sekadar menolak kebenaran sejarah-ia adalah bentuk kekerasan baru, kekerasan dalam bentuk penghapusan kebenaran.

Pernyataan Fadli Zon seharusnya menjadi alarm. Bahwa pekerjaan kita belum selesai. Bahwa narasi resmi masih bisa diganggu oleh suara-suara yang ingin menghapus, menunda, atau mengalihkan tanggung jawab sejarah. Dan bahwa para korban, para ibu, para anak, dan para penyintas, masih butuh keadilan, bukan debat kosong.

Sejarah tidak butuh pembenaran politik. Ia butuh keberanian untuk mengakui kesalahan, memeluk luka, dan menjanjikan bahwa kita tidak akan mengulanginya. Sebab, jika ingatan itu dikubur, kita sedang menggali lubang untuk tragedi berikutnya.

[1] https://www.tempo.co/politik/tragedi-pemerkosaan-1998-1711950

[2] https://www.tempo.co/politik/tragedi-pemerkosaan-1998-1711950

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Ita_Martadinata_Haryono

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Partikel Bebas

Partikel Bebas adalah media bersama, menjadi ruang bebas untuk bersuara, bercerita dan sedikit bercanda. Partikel Bebas adalah wadah di mana ide-ide dapat saling bertemu, berbenturan dan berkembang yang selanjutnya diharapkan mampu memperluas perspektif serta memperkaya perbendaharaan literatur di Sulawesi Barat.

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Ibunda: Sebuah Perlawanan dari Dapur Kaum Tertindas

Negeri Mesin Ketik: Ketika Sejarah Dihapus, Ingatan Dipoles