Perang selalu menjadi panggung paling brutal dalam sejarah umat manusia, di mana kekuasaan, ideologi, neoliberalisme dan dendam menjadi bahan bakarnya. Ketika Iran dan Israel, dua negara yang sejak lama berada dalam ketegangan diplomatik dan militer, kini terlibat dalam konflik terbuka, dunia pun kembali dicekam oleh bayang-bayang perang besar. Perang ini bukan sekadar soal dua negara berseteru; ini adalah benturan geopolitik yang merambat ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Iran dan Israel berada dalam kutub ideologi yang berbeda. Iran dengan sistem pemerintahan teokratis Syiah, dan Israel sebagai negara Yahudi sekuler yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat. Keduanya tidak hanya bertikai karena isu Palestina, tetapi juga karena pengaruh regional di Timur Tengah. Israel menuduh Iran mendukung kelompok-kelompok militan seperti Hizbullah dan Hamas, sementara Iran menganggap Israel sebagai simbol kolonialisme modern dan penjajahan atas tanah suci umat Islam. Ketegangan yang semula berbentuk serangan siber, sabotase fasilitas nuklir, hingga pembunuhan ilmuwan, kini berubah menjadi konflik militer terbuka, dengan rudal, drone, dan pasukan bersenjata mulai mengisi headline media global.
Namun bagi Indonesia, negeri kepulauan yang jauh dari Timur Tengah, apa urgensinya memikirkan perang ini? Bukankah ini hanya konflik regional? Sayangnya, dunia pasca-globalisasi tidak lagi memiliki batas aman. Apa yang terjadi di Tel Aviv dan Teheran akan berdampak pada Jakarta, Surabaya, dan bahkan Polewali Mandar. Dalam satu tarikan napas, perang itu menekan harga minyak dunia, memicu ketegangan diplomatik antar-blok kekuatan, memperuncing perbedaan sektarian, dan merambat pada krisis kemanusiaan yang tak bisa diabaikan.
Secara ekonomi, Indonesia amat rentan pada fluktuasi harga energi global. Ketika konflik di Timur Tengah memanas, harga minyak melonjak karena jalur distribusi global terganggu. Selat Hormuz, yang menjadi titik kunci pengiriman minyak dari kawasan Teluk, menjadi titik rawan serangan. Dampaknya, harga BBM dalam negeri bisa meroket, subsidi energi membengkak, dan inflasi tak bisa dikendalikan. Pada saat bersamaan, daya beli masyarakat menurun, harga bahan pokok naik, dan tekanan terhadap anggaran negara semakin besar.
Dampak lain yang sering diabaikan adalah bagaimana perang ini membelah opini publik Indonesia. Dengan mayoritas penduduk Muslim, simpati terhadap Iran seringkali dikaitkan dengan solidaritas terhadap Palestina dan perjuangan melawan hegemoni Barat. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok konservatif Sunni bisa memandang Iran dengan kecurigaan karena perbedaan sektarian. Media sosial menjadi arena panas perdebatan yang tak jarang berubah menjadi propaganda. Isu luar negeri menjelma menjadi bahan bakar konflik dalam negeri, antara nasionalisme semu dan fanatisme buta.
Yang lebih mencemaskan adalah potensi radikalisasi. Ketika perang dipahami sebagai jihad atau perang agama, maka muncul celah bagi kelompok ekstremis untuk merekrut, membakar semangat, dan menebar doktrin kekerasan. Indonesia pernah punya luka lama tentang keterlibatan warganya dalam konflik di luar negeri, seperti Suriah dan Irak. Perang Iran-Israel bisa menjadi siklus baru dari semangat “perjuangan” yang dimanipulasi oleh kelompok intoleran demi agenda domestik mereka.
Di tengah pusaran itu, pemerintah Indonesia berada di posisi dilematis. Di satu sisi, Indonesia ingin menjaga netralitas diplomatik, dengan tetap mengutuk penjajahan atas Palestina dan pada saat yang sama menjalin hubungan ekonomi dengan negara-negara seperti Israel lewat jalur tidak resmi. Di sisi lain, tekanan publik untuk menunjukkan sikap tegas terhadap Israel membuat manuver politik luar negeri menjadi sempit. Kebijakan luar negeri Indonesia yang selama ini teguh pada prinsip bebas aktif, diuji pada titik paling kompleks: bagaimana menjaga keseimbangan antara idealisme dan kepentingan nasional.
Di luar itu, perang Iran-Israel juga menguji solidaritas kemanusiaan Indonesia. Ketika serangan militer menimpa warga sipil di Gaza, Lebanon, atau bahkan wilayah Iran sendiri, Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung nilai kemanusiaan tak bisa tinggal diam. Bantuan kemanusiaan, diplomasi perdamaian, hingga seruan solidaritas lintas agama menjadi penting untuk menunjukkan bahwa negeri ini tidak hanya berpihak pada satu kubu, tapi berpihak pada nilai hidup manusia itu sendiri.
Perang ini belum menunjukkan tanda akan segera berakhir. Dunia menahan napas, takut kalau konflik dua negara ini memantik perang regional yang lebih luas, antara AS dan sekutunya dengan Iran dan aliansi Syiah-nya serta negara-negara yang memihaknya. Indonesia tak bisa menutup mata. Kita harus mulai berbicara lebih banyak soal diplomasi damai, memperkuat ketahanan energi nasional, dan menjaga nalar publik agar tidak terjebak dalam fanatisme geopolitik.
Perang di Timur Tengah mungkin terjadi ribuan kilometer dari negeri ini, tapi efeknya sangat nyata dan dekat: dari harga cabai di pasar hingga wacana di mimbar masjid. Seperti kata pepatah lama, “ketika dua gajah bertarung, semut yang mati.” Indonesia, jika tak bersikap cerdas dan tanggap, bisa saja menjadi semut yang terinjak dalam pertarungan dua kekuatan besar di ujung barat Asia itu.

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings