Polewali Mandar (Polman) kembali diguncang kasus kekerasan seksual. Banyak perkara sebelumnya berakhir sumir, seperti penyelidikan tak jalan, penetapan tersangka mandek, dan publik yang tak dapat kepastian. Pada kasus terbaru, hasil visum et repertum dilaporkan “negatif, lalu arah tuduhan berbalik menyalahkan keluarga dan korban. Ini tidak hanya keliru secara hukum dan berbahaya secara moral, tetapi juga tidak berperasaan.
UU TPKS sebenarnya sudah memberikan pelindungan yang jelas kepada korban. Pertama, Pasal 23 undang-undang ini secara tegas melarang perkara kekerasan seksual diselesaikan dengan cara “damai” atau kekeluargaan. Kecuali bila pelakunya anak, kasus tidak boleh ditutup hanya karena ada kesepakatan antara keluarga pelaku dan keluarga korban. Jadi, setiap upaya aparat untuk menutup perkara dengan alasan sudah ada “perdamaian” sebenarnya bertentangan dengan hukum. Kedua, UU TPKS juga melarang adanya praktik menyalahkan korban. Pada Pasal 22 undang-undang ini menyatakan bahwa penyidik, jaksa, atau hakim tidak boleh memberikan pertanyaan yang menjerat atau mengaitkan kekerasan yang dialami dengan pelaku, pakaian, atau kondisi keluarga korban. Menyalahkan korban tidak hanya tidak etis, tetapi juga secara hukum dilarang.
Ketiga, soal alat bukti. Selama ini ada pandangan keliru seolah-olah visum et repertum adalah satu-satunya alat bukti yang sah. Padahal, UU TPKS memperluas jenis alat bukti. Selain bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, pada Pasal 24 undang-undang ini mengakui rekaman elektronik, surat keterangan psikolog klinis atau psikiater, hasil forensik, maupun rekam medis. Artinya, visum hanyalah salah satu bentuk bukti surat dan ketidakadaan temuan pada visum tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan perkara. Keempat standar pembuktian juga dibuat lebih sederhana. Menurut Pasal 25, keterangan korban ditambah satu alat bukti lain sudah cukup untuk membuktikan tindak pidana, sepanjang hakim yakin. Contoh sederhana: keterangan korban yang didukung surat keterangan dari psikiater sudah memenuhi syarat. Dengan begitu, kasus kekerasan seksual tetap bisa diproses meski hasil visum negatif.
Semua kerangka hukum ini menjadi relevan ketika melihat kasus di Desa Batetangnga. Di sana, seorang kepala dusun dilaporkan dalam dugaan pelecehan seksual. Hasil visum disebut negatif dan seorang aktivis LSM kemudian menyatakan bahwa laporan ini hanyalah pengalihan isu dari kasus dugaan korupsi dana desa. Pandangan ini jelas bermasalah. Pertama, karena secara hukum visum bukanlah bukti satu-satunya. Kedua, karena mencampuradukkan isu korupsi dengan laporan kekerasan sekusal sama saja merendahkan martabat korban dan itu termasuk bentuk victim-blaming.
Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan seksual tidak selalu meninggalkan luka fisik. Bentuk pelecehan bisa berupa sentuhan, pemaksaan, atau tindakan non-penetrasi yang sulit dideteksi secara medis, apalagi bila laporan dilakukan dengan jeda waktu yang lama. Dalam kasus demikian, pemeriksaan psikologi justru lebih penting. Itulah mengapa UU TPKS memberi ruang bagi keterangan psikologi klinis dan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Mitos-mitos yang beredar di masyarakat harus dilawan. Mitos bahwa “visum negatif berarti kasus selesai” adalah keliru. Mitos bahwa “kasus ini hanya alat politik” tidak kalah kelirunya, karena berupaya mengorbankan korban demi narasi politik. Fakta hukumnya sederhana, bahwa keterangan korban ditambah satu bukti lainnya sudah cukup. Fakta sosialnya pun jelas, bahwa korban berhak dilindungi dari stigma dan diberi ruang untuk bersuara tanpa dicurigai.
Oleh karena itu, perlu sekali lagi ditegaskan bahwa tidak ada alasan apa pun untuk tidak mengusut perkara kekerasan seksual. Dugaan korupsi dana desa memang wajib diusut, tetapi itu perkara lain yang tidak boleh menutupi kewajiban negara untuk menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Aparat Polman harus transparan, publik harus kritis, dan kita semua harus memastikan bahwa mitos visum tidak lagi mengubur kebenaran.
ditulis oleh Muhammad Farhan Ghibran
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings