Suatu pagi yang cerah di sebuah desa di Kabupaten Polewali Mandar, empat anak perempuan dengan penuh semangat melangkahkan kaki kecilnya menuju sekolah PAUD. Senyum polos dan tawa riang mereka seakan menjadi gambaran betapa sekolah adalah tempat yang mereka bayangkan sebagai ruang bermain, belajar, sekaligus menemukan kebahagiaan bersama teman-temannya. Orang tua yang mengantar pun melepas dengan keyakinan penuh, bahwa di balik pagar sekolah terdapat guru dan tenaga pendidik yang akan menjaga serta melindungi anak-anak mereka.
Tragisnya, hasil visum yang keluar menunjukkan keterangan negatif, sehingga meninggalkan kebingungan dan kegelisahan di tengah upaya mencari keadilan. Jika anak-anak yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban di lingkungan pendidikan, masihkah kita bisa menyebut sekolah sebagai ruang aman bagi mereka? Dan mengapa pelecehan seksual sering kali dianggap sebagai kasus yang tidak penting, padahal dampaknya mampu merenggut masa depan korban?
Pelecehan seksual di Indonesia telah mencapai tahap yang dapat disebut sebagai kondisi darurat. Kasus-kasus yang terus meningkat, baik di ruang publik maupun privat, menunjukkan bahwa permasalahan ini tidak lagi dapat dipandang sebagai persoalan individual, melainkan krisis sosial yang memerlukan perhatian serius.
Meskipun regulasi dan perangkat hukum terkait kekerasan dan pelecehan seksual telah diperkuat melalui hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kenyataannya implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai hambatan, mulai dari keterbatasan aparat penegak hukum, budaya victim-blaming, hingga ketimpangan gender yang mengakar dalam masyarakat. Kondisi ini menegaskan bahwa pelecehan seksual bukan hanya isu hukum, tetapi juga persoalan keadilan gender yang membutuhkan pendekatan komprehensif antara penegakan hukum, pendidikan, dan transformasi budaya.
Pelecehan seksual sering kali dipengaruhi oleh kondisi sosial yang menempatkan individu dalam posisi minoritas atau marjinal. Faktor seperti prasangka terhadap etnis, status sosial, maupun kelompok tertentu menciptakan ketimpangan dalam distribusi kekuasaan dan akses sumber daya. Dalam perspektif sosiologi gender, kondisi ini menunjukkan bagaimana relasi kuasa yang timpang memperkuat kerentanan individu, khususnya kelompok yang terpinggirkan, sehingga mereka lebih berisiko menjadi target kekerasan dan agresi seksual. Dengan demikian, pelecehan seksual tidak hanya dipahami sebagai perilaku individu, melainkan juga sebagai produk struktur sosial yang bias gender dan diskriminatif.
Meningkatnya kasus pelecehan seksual di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor struktural maupun kultural yang saling berkaitan. Secara struktural, lemahnya sistem perlindungan hukum dan lambatnya proses penanganan kasus membuat banyak pelaku tidak mendapatkan efek jera, sehingga kasus serupa berulang di berbagai tempat. Sementara secara kultural, budaya patriarki yang masih kuat menempatkan perempuan maupun kelompok rentan pada posisi subordinat, sehingga mereka lebih mudah menjadi target pelecehan.
Faktor lain yang turut mendorong darurat pelecehan seksual adalah maraknya media digital yang kerap dimanfaatkan sebagai ruang baru terjadinya kekerasan berbasis gender. Dengan demikian, pelecehan seksual di Indonesia berkembang menjadi persoalan kompleks yang melibatkan ketidaksetaraan gender, lemahnya penegakan hukum, serta budaya yang permisif terhadap kekerasan seksual.
Penegakan hukum terhadap kasus pelecehan seksual di Indonesia pada dasarnya telah mengalami kemajuan, terutama dengan hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai instrumen hukum khusus. Namun, efektivitas penerapannya masih menghadapi banyak hambatan.
Aparat penegak hukum sering kali kurang memiliki perspektif gender, sehingga proses hukum tidak jarang merugikan korban. Selain itu, keterbatasan sumber daya, minimnya fasilitas pendampingan korban, serta kurangnya koordinasi antar-lembaga menjadikan implementasi hukum belum optimal. Situasi ini diperburuk dengan rendahnya tingkat pelaporan akibat stigma sosial, rasa takut, dan ketidakpercayaan korban terhadap proses hukum. Akibatnya, meskipun regulasi telah tersedia, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari harapan dalam menciptakan perlindungan yang komprehensif bagi korban pelecehan seksual.
Kasus pelecehan seksual yang terus bermunculan di Indonesia perlu ditanggapi secara kritis, karena hal ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam memberikan perlindungan kepada korban. Kritik utama dapat diarahkan pada lemahnya penegakan hukum yang sering kali tidak berpihak kepada korban, bahkan justru memperburuk kondisi psikologis mereka melalui proses hukum yang berbelit. Selain itu, budaya victim-blaming yang masih kuat di masyarakat memperlihatkan bahwa konstruksi sosial kita masih bias gender dan cenderung melanggengkan ketidakadilan. Ironisnya, pelaku kerap mendapatkan ruang aman melalui relasi kuasa atau posisi sosial tertentu, sementara korban dipaksa menanggung beban stigma. Situasi ini menegaskan bahwa pelecehan seksual bukan hanya sekadar penyimpangan moral, tetapi juga masalah struktural yang mencerminkan ketidakmampuan negara dan masyarakat dalam menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan gender.
Keadilan gender dalam penanganan pelecehan seksual masih sulit diwujudkan karena adanya ketimpangan relasi kuasa yang mengakar dalam masyarakat. Budaya patriarki membuat pengalaman perempuan maupun kelompok rentan sering kali dipandang sebelah mata, sehingga suara korban kurang mendapatkan ruang yang adil dalam proses hukum maupun sosial. Selain itu, stereotip gender yang bias, seperti anggapan bahwa perempuan “memancing” pelecehan melalui pakaian atau perilaku, semakin memperkuat praktik victim-blaming. Hambatan lain muncul dari kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang perspektif gender, sehingga keputusan hukum kerap tidak berpihak pada korban. Kondisi ini menegaskan bahwa persoalan pelecehan seksual bukan hanya masalah penegakan hukum, tetapi juga persoalan struktural yang erat kaitannya dengan konstruksi sosial tentang peran dan posisi gender dalam masyarakat.
Setiap hari, berita tentang korban pelecehan muncul, baik di sekolah, kampus, kantor, bahkan di ruang digital. Namun yang lebih memprihatinkan, masyarakat sering kali menanggapi dengan komentar ringan, seolah-olah pelecehan hanyalah “kejadian kecil”. Padahal, sekecil apa pun bentuk pelecehan adalah pelanggaran martabat manusia. Ketika masyarakat menormalisasi candaan seksual atau komentar yang merendahkan, sesungguhnya mereka sedang ikut menyuburkan budaya kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perempuan dilaporkan bahwa angka umum Kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2024 sejumlah 445.502 mengalami kenaikan (43.527 kasus atau sekitar 10,83%) dibandingkan tahun 2023 (401.975), selanjutnya data Kekerasan berbasis gender dalam CATAHU 2024 mengalami peningkatan (40.986/14,17%) dibandingkan tahun 2023. Sumber data tidak hanya yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, tetapi juga dari keseluruhan sumber data CATAHU.
Darurat pelecehan seksual di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan ini tidak bisa dipandang sekadar kasus individual, melainkan sebagai krisis sosial yang mencerminkan ketimpangan gender, lemahnya penegakan hukum, serta kuatnya budaya patriarki. Meskipun telah hadir instrumen hukum seperti UU TPKS, implementasinya masih menemui berbagai kendala, mulai dari minimnya perspektif gender dalam aparat penegak hukum hingga rendahnya keberanian korban untuk melapor karena stigma sosial.
Menangani pelecehan seksual tidak cukup hanya dengan instrumen hukum. Diperlukan pula perubahan paradigma sosial dan kultural yang lebih mendalam. Pendidikan berbasis kesetaraan gender perlu diperkuat sejak dini, agar masyarakat tidak lagi menoleransi pelecehan sekecil apa pun. Media massa dan ruang digital juga harus menjadi bagian dari solusi, dengan menghadirkan narasi yang menolak pelecehan dan menghapus stigma terhadap korban. Pada akhirnya, pemberantasan pelecehan seksual membutuhkan sinergi antara hukum yang tegas, budaya yang adil gender, dan kesadaran masyarakat untuk melindungi martabat manusia tanpa diskriminasi.

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings