Aktivis sejatinya adalah perpanjangan tangan masyarakat dalam mengawal isu-isu sosial yang berkaitan dengan maslahat orang banyak, entah tingkatan nasional ataupun yang terjadi di suatu daerah.
Aktivis, dengan segala perjuangannya, sering kali dianggap sebagai sosok yang hebat, kuat, dan berkualitas. Tidak jarang, kalangan mahasiswa yang berperan besar dalam dunia aktivisme dianggap sebagai para cendekiawan, pemikir, dan penolong, dengan attitude yang terpuji. Mereka juga dikenal karena jiwa kepedulian sosial dan solidaritas yang tinggi. Hal ini terbukti melalui aksi-aksi yang mereka lakukan, seperti yang terjadi di Kabupaten Majene, di mana para aktivis menggelar demonstrasi di depan Stikes Bina Bangsa Majene. Aksi ini bertujuan untuk membela teman sejawat dan sesama lembaga yang menghadapi permasalahan.
Namun, di tengah aksi tersebut, terdapat sekelompok orang yang mengibarkan bendera dari sebuah lembaga ternama, HMI, dengan sengaja hingga bendera tersebut menyentuh wajah penghuni kampus Stikes Bina Bangsa Majene yang mayoritas adalah perempuan. Tindakan ini memicu reaksi spontan dari para perempuan, yang dengan sigap merobek bendera tersebut.
Keadaan pun menjadi panas dan ricuh, bahkan salah satu peserta aksi, yang juga merupakan petinggi lembaga ternama, mencoba melakukan kontak fisik terhadap perempuan tersebut. Kejadian ini diliput oleh media ternama, Polman Update, pada 12 Maret 2025.
Dari sudut pandang saya sebagai masyarakat biasa, saya melihat peristiwa ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi perempuan yang merobek bendera, saya rasa tindakan tersebut sah-sah saja. Bendera yang sengaja disodorkan ke wajah mereka bisa dianggap sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja. Sebagai tuan rumah, perempuan tentu akan merasa terdorong untuk melawan aksi tersebut, terlebih lagi jika mereka merasa terhina. Namun, jika kita melihatnya dari perspektif aktivis atau petinggi lembaga, wajar juga bila mereka bereaksi spontan, karena bendera adalah simbol kebesaran dan harga diri lembaga. Melihat bendera mereka dirobek di depan umum tentu bisa membuat emosi mereka memuncak.
Namun, setelah dipikir lebih dalam, perempuan tentu berhak marah jika diperlakukan demikian. Perempuan bukanlah objek atau benda mati yang bisa diperlakukan semena-mena dalam sebuah aksi. Mereka bukanlah pelengkap yang bisa diperlakukan begitu saja sesuai kehendak pihak lain. Perempuan, seperti halnya pria, adalah subjek yang memiliki hak untuk menentukan dan membuat keputusan, bukan sekadar wadah tempat menumpahkan emosi.
Tidak bisa dipungkiri, jika melihat aksi-aksi aktivis saat ini, terkadang kita bisa merasakan adanya “krisis identitas.” Bagaimana tidak? Di bulan puasa, yang seharusnya menjadi waktu untuk beribadah dan berkah, malah ada aksi yang dilakukan atas nama kemanusiaan dan solidaritas. Bahkan, dalam proses aksi berlangsung para pengendara baik roda dua, roda empat, hingga berbagai jenis kendaraan lainnya, berbaris memenuhi ruas jalan di Majene hingga perbatasan (karena lokasi Stikes memang di perbatasan, hehe). Mungkin saya yang sedang kehilangan nalar, tapi jika dipikir-pikir, kenapa harus bendera dikibarkan sedemikian rupa hingga mengganggu wajah perempuan? Bukankah bendera itu merupakan simbol sakral dari sebuah lembaga, yang seharusnya dilindungi? Entah, dengan perilaku seperti itu, saya jadi berpikir bahwa mungkin ada “krisis identitas” di kalangan aktivis saat ini.
Masalah ini seharusnya menjadi perhatian utama bagi kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, untuk lebih memperhatikan dan membimbing perkembangan nalar generasi muda, guna mencegah terjadinya krisis identitas yang berujung pada dekadensi moral. Dari sudut pandang akademis, solusi yang bisa ditawarkan adalah pentingnya pendidikan karakter dan nilai-nilai sosial yang kokoh di setiap generasi mahasiswa. Perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan intelektual harus mengajarkan tidak hanya pengetahuan akademis, tetapi juga etika, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta cara berkomunikasi yang konstruktif. Aktivisme harus didasarkan pada prinsip saling menghargai tanpa merendahkan pihak lain. Dialog terbuka dan mediasi antara pihak yang memiliki pandangan berbeda bisa menjadi solusi untuk menghindari ketegangan yang merugikan. Para aktivis juga perlu didorong untuk menggunakan cara yang damai dan edukatif dalam menyampaikan pesan mereka, tanpa menyakiti perasaan atau melanggar hak orang lain.
Dari sisi masyarakat, kita dapat memulai dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya empati dan saling pengertian, baik antar individu maupun antar kelompok. Setiap orang, terlepas dari gender atau latar belakang, harus diberi ruang untuk menyuarakan pendapat dengan cara yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Masyarakat juga perlu memahami bahwa bendera atau simbol apapun, meskipun memiliki makna historis dan simbolik yang dalam, tidak seharusnya dijadikan alat provokasi atau penghinaan terhadap pihak lain. Sebagai solusi, kita bisa mendorong adanya kampanye atau forum diskusi yang menekankan pentingnya pemahaman terhadap perbedaan pendapat dan memperkuat rasa hormat antar sesama, agar perbedaan tidak berujung pada konflik.

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings