in

LoveLove

Bayang-bayang Arogansi Hingga Fanatisme Buta di Balik Demonstrasi Mahasiswa Majene

Sudah dua hari ini, di tengah ibadah puasa yang khidmat, layar gawai kita cukup ramai berseliweran foto dan video potongan aksi demonstrasi salah-satu lembaga/organisasi mahasiswa di pelataran kampus Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Bangsa Majene (STIKES BBM).

Tulisan dari beberapa kanal informasi mengatakan bahwa aksi demonstrasi yang berujung chaos ini didasari atas adanya dugaan maladministrasi yang dilakukan pihak birokrasi kampus dalam pemberian sanksi skors kepada mahasiswi yang merupakan salah-satu kader organisasi yang identik dengan warna hijau dan hitam itu, kabar tentang mahasiswi tersebut juga adalah “teman dekat” dari ketua organisasi cukup memberikan alasan melankolis dan heroik berduyun-duyunnya massa aksi merangsek masuk ke kampus yang bertameng puluhan mahasiswi kesehatan itu.

Namun pada tulisan ini, tidak akan banyak menyikapi masalah pokok perkara yang menjadi pemantik amarah abang-abangan organisasi tersebut. Melainkan adanya upaya pembiaran dari sirkel yang sama, yang bisa saja didasari oleh loyalitas kelembagaan atau solidaritas sesama kader. Namun bagi saya, saut-sautan dukungan yang bernada pembiaran itu justru seperti fanatisme buta yang mungkin saja lahir dari budaya organisasi yang sarat dogma dan doktrin.

Melihat dan menyikapi aksi demonstrasi yang tengah ramai ini, cukup memberikan pembelajaran betapa arogansi berorganisasi adalah penyakit yang kian menggerogoti gerakan mahasiswa hari ini. Militansi yang coba dibangun tidak lagi disandarkan pada tujuan untuk menjadi martir kepentingan rakyat melainkan menjadi tameng atas kepentingan-kepentingan tertentu.

Kita seharusnya bijak dan cukup legowo untuk introspeksi diri, betapa krisisnya polarisasi gerakan mahasiswa hari ini. Kembali ke sekret masing-masing dan mendiskusikan kembali metode kaderisasi masing-masing lembaga adalah satu dari banyak hal yang harusnya dilakukan hari ini. Apakah kita sudah dalam koridor membangun kesadaran ilmiah atau justru kesadaran semu; Dogma dan doktrin yang berujung pada fanatisme yang membabi-buta.

Baca Juga  Kampus Berpolitik; Apa Tidak Kampungan?

Cara penyelesaian perkara/masalah hingga korban kekerasan dan dugaan pelecehan di tengah kerumunan aksi cukup menjadi tamparan, betapa gagalnya kita membawa organisasi menjadi ruang aman bagi siapapun, sebaliknya justru tidak ubahnya seperti tongkrongan abang-abangan yang emosian.

Saya melihat gerakan mahasiswa semacam ini seperti halnya ormas-ormas keagamaan yang berisikan lumpen yang cukup reaksioner dengan pola-pola fasistik, yang bagi saya meresponnya cukup dengan satu kata; “Jelle’ko!”.

Petantang-petenteng dengan pengeras suara sepertinya cukup menodai kesejukan bulan Ramadhan dan itu dilakukan oleh organisasi yang tersemat Islam dalam nama besarnya. Semoga saja apa tengah terjadi bisa diselesaikan dengan damai walau tentu tidak mentolerir pelaku kekerasan.

Terakhir, semoga energi, amarah hingga militansi yang serupa bisa disalurkan pada aksi-aksi yang jauh lebih esensial dan menjadi kepentingan maslahat orang banyak.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Friska Gayatri

Seorang pencari makna, berusaha merangkul keautentikan dalam dunia yang kadang terasa samar. Sering kali tak berani mengungkapkan diri, tapi selalu berusaha menjadi cahaya yang memancarkan inspirasi bagi orang-orang di sekitar, Amin.

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Aktivis Tidak Bercerita, Tiba-tiba “Keos”

Siapa Saya? : Prolog