in

DPR Tidak Bercerita Tiba-Tiba Sahkan UU TNI: Antara Kemandirian Sosial dan Tantangan Demokrasi

Ramadan, yang seharusnya menjadi bulan penuh kemuliaan dan momentum strategis untuk beramal saleh, justru diwarnai oleh berbagai isu yang beredar di media sosial. Masyarakat dihadapkan pada berita mengenai kasus korupsi, dinamika utang negara, spekulasi mengenai kemungkinan lengsernya Menteri Keuangan, hingga polemik seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI.

Salah satu isu yang menimbulkan kegelisahan publik adalah pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup di sebuah hotel mewah di Jakarta. Keputusan pemerintah untuk membahas regulasi strategis ini dalam forum yang eksklusif menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, terutama para pengamat politik dan pengguna media sosial.

Langkah pemerintah dalam mengesahkan kebijakan ini secara tertutup justru memicu spekulasi liar di tengah masyarakat. Alih-alih mencerminkan transparansi dan demokrasi, keputusan ini justru memperkuat kesan bahwa negara sedang bergerak menuju sentralisasi kekuasaan dengan memperluas peran aparat keamanan di ranah sipil. Di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang penuh tantangan, publik berhak mempertanyakan arah kebijakan negara dan menuntut keterbukaan serta akuntabilitas dalam setiap keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat.

Nampaknya kekhawtiran dan beragam persfektif di sosial media tidak menggoyahkan para tuan-tuan Senayan hingga RUU TNI disahkan lewat sidang paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/3/2025), yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Saan Mustopa.

Secara garis besar, substansi dari UU TNI ini memberikan legitimasi bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil, Perubahan yang paling menjadi sorotan adalah perubahan Pasal 47 terkait jabatan TNI aktif di kementerian/lembaga sipil. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI lama, terdapat pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Baca Juga  Tsunami Money Politic pada Perhelatan Pilkada Serentak di Sulawesi Barat 2024

Kementerian/lembaga yang dimaksud adalah kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara. (Kompas.Com. 20/03/25).

Sebuah kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi mengingat tugas utama kedua institusi ini sebelumnya berfokus pada sektor pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, regulasi ini juga mencakup rencana penambahan personel TNI di setiap daerah di Indonesia, dengan jumlah satu batalyon per daerah. Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai urgensi dan dampaknya terhadap tata kelola pemerintahan sipil serta keseimbangan kekuasaan dalam sistem demokrasi Indonesia.

Pemerintahan Prabowo-Gibran mengusung slogan dan misi Kemandirian Sosial, yang dalam praktiknya tampak selaras dengan kebijakan UU TNI khususnya terkait dengan penambahan pasukan TNI sebanyak satu batalyon di setiap daerah di seluruh Indonesia. Kebijakan ini mengingatkan pada strategi yang diterapkan oleh beberapa negara maju seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, yang memiliki sistem wajib militer dan berhasil membangun kekuatan militer yang disegani di dunia.

Jika melihat keberlanjutan visi pemerintahan sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju, yang berfokus pada pembangunan infrastruktur nasional, maka langkah ini dapat dianalogikan sebagai upaya memperkuat “pondasi rumah” dengan meningkatkan aspek keamanan melalui ekspansi kekuatan militer. Dalam perspektif pemerintah, kebijakan ini diharapkan menciptakan stabilitas nasional yang menjadi prasyarat bagi kemandirian sosial dan pertumbuhan ekonomi.

Dari perspektif masyarakat awam, ada kekhawatiran bahwa perluasan peran TNI dan POLRI ke ranah sipil bisa menggeser keseimbangan kekuasaan yang selama ini dijaga dalam sistem demokrasi. Keterlibatan aparat keamanan dalam jabatan sipil berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menurunkan independensi lembaga-lembaga sipil. Selain itu, alokasi anggaran untuk penambahan pasukan TNI di seluruh daerah juga menjadi sorotan, mengingat kondisi ekonomi negara yang masih dibayangi oleh utang nasional yang fantastis.

Baca Juga  Bayang-bayang Politik Elektoral di Balik Tumpukan Sampah yang Kian Menggunung di Polman

Meski demikian, jika kebijakan ini diterapkan dengan perencanaan yang matang dan transparan, ada beberapa dampak positif yang bisa diperoleh. Pertama, peningkatan jumlah personel TNI di berbagai daerah dapat memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional, terutama di wilayah perbatasan dan daerah rawan konflik. Kedua, jika diiringi dengan program wajib militer atau pelatihan bela negara yang terstruktur, kebijakan ini bisa meningkatkan disiplin dan nasionalisme di kalangan generasi muda. Ketiga, sinergi antara aparat keamanan dan masyarakat sipil yang terarah dapat mendorong stabilitas sosial dan mempercepat pembangunan daerah.

Namun, agar kebijakan ini benar-benar bermanfaat, pemerintah harus memastikan adanya kontrol dan mekanisme pengawasan yang kuat. Partisipasi publik, keterbukaan informasi, serta kajian akademis yang objektif harus menjadi bagian dari proses legislasi agar UU  TNI ini tidak menjadi alat untuk memperkuat otoritarianisme melainkan benar-benar berkontribusi pada visi Kemandirian Sosial yang diusung oleh cabinet baru dan semoga saja tidak keluar dari esensi merah putih yaitu keberanian, semanagat juang dan nawaitu yang suci dalam membangun bangsa. Aamiin.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Nurhaliza Icha

Pengacara (pengangguran cari acara)

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Siapa Saya? : Prolog

Siapa Saya?: Identitas