Kemarin (Senin, 1 September 2025), jalanan Polewali Mandar kembali menjadi saksi seraknya suara orator dari atas mokom, pekatnya asap hitam dari ban bakar dan riuhnya suara perlawanan mahasiswa dan rakyat.
Aksi demonstrasi yang digelar bukan sekadar ekspresi sesaat, melainkan letupan dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan terhadap kebijakan negara yang semakin jauh dari prinsip keadilan sosial.
Beberapa hari terakhir titik api kian bermunculan di sudut-sudut negeri, menandakan perlawanan yang kian massif atas bergaimacam polemik yang menjadi pemantik. Kemarahan publik ini berakar dari kebijakan pemerintah yang lebih memihak kepentingan elit dan oligarki. Sebagian besar anggota DPR (sekitar 61%) memiliki latar belakang pengusaha, yang menimbulkan konflik kepentingan dan korupsi. Kondisi ini diperparah oleh kesulitan ekonomi rakyat, dengan angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025.
Selain itu, respons brutal dari aparat kepolisian terhadap aksi massa semakin memicu amarah. Kenaikan anggaran Polri, yang digunakan untuk membeli kendaraan taktis, justru terasa ironis di tengah kesulitan ekonomi. Data dari Amnesty International dan KontraS mencatat ratusan kasus kekerasan, termasuk pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan, yang semakin memperburuk ketidakpuasan publik.[1]
Tidak hanya itu, di beberapa daerah di Indonesia, juga meluapkan kekecewaannya atas kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dari kenaikan 100% hingga 500%.
Bertitik aksi di depan gedung DPRD Kab. Polewali Mandar, massa aksi yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa dan Rakyat SEMARAK Polman membawa sejumlah isu dan tuntutan.
Setidaknya ada tiga hal pokok: kenaikan pajak yang semakin membebani rakyat kecil, kenaikan tunjangan DPR RI yang semakin menunjukkan watak elitis lembaga legislatif, dan brutalitas aparat yang tak henti menjadi wajah kelam demokrasi kita.
Pajak: Perampokan yang Dilegitimasi
Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, kenaikan berbagai jenis pajak justru menjadi tamparan keras bagi masyarakat. Bagi mahasiswa, pekerja, pedagang kecil, hingga petani di Polman, kebijakan ini hanya akan semakin mempersempit ruang hidup. Sementara alasan “pembiayaan pembangunan” terdengar manis, kenyataannya pembangunan itu sering tidak menyentuh rakyat kecil, melainkan lebih banyak menguntungkan korporasi dan elit politik.
Kenaikan pajak hari ini bukan lagi soal pembangunan. Itu hanyalah kedok, sebuah alat rampok yang dilegitimasi. Rakyat diperas, keringat petani dan nelayan disedot, sementara korporasi dan para pejabat justru mendapat karpet merah. Di Polman, mahasiswa paham betul bahwa pajak ini bukan untuk rakyat, melainkan untuk menopang perut buncit elit yang sudah terlalu kenyang.
DPR: Parasit Demokrasi
Hari ini, rakyat Indonesia kembali dipaksa menyaksikan wajah asli kekuasaan. DPR RI, yang seharusnya menjadi wakil rakyat, justru berulang kali mengkhianati mandatnya. Mereka lebih sibuk mengamankan kursi, memperdagangkan undang-undang, dan menjadi corong oligarki ketimbang memperjuangkan nasib rakyat. DPR bukan lagi rumah demokrasi, melainkan pasar gelap kepentingan.
Rakyat diminta berhemat, sementara DPR justru menambah tunjangan dan fasilitas mereka. Fakta ini menjadi bahan bakar utama amarah massa aksi. Bagaimana mungkin para wakil rakyat yang kerap absen, tidur atau bahkan joget-joget di ruang sidang, atau terjerat kasus korupsi, masih tega menambah pundi-pundi kesejahteraannya sendiri? Kontras yang mencolok antara kehidupan mewah elit politik dan kesulitan ekonomi rakyat inilah yang semakin mengikis kepercayaan publik terhadap DPR sebagai institusi.
Kemarahan kian dipantik oleh pernyataan-pernyataan bias dari anggota dewan, yang justru seolah memperlihatkan kedunguan dan anti kritik. Padahal, secara prinsipnya DPR justru seharusnya tunduk pada rakyat sebagai tuannya.
Brutalitas Aparat yang Kian Menjadi-jadi
Bukannya menjadi pengayom sebagaimana tagline institusinya, Aparat justru seolah jadi anjing penjaga kekuasaan. Bukan hal baru pada wajah demokrasi Indonesia, aparat sering kali menjadi tameng kekuasaan dengan tangan besinya.
Pemukulan, intimidasi, bahkan penangkapan paksa terhadap mahasiswa hanya memperlihatkan betapa negara masih alergi terhadap kritik. Demokrasi yang katanya menjamin kebebasan berpendapat, nyatanya dijalankan dengan pentungan, gas air mata bahkan timah panas.
Represi kian dinormalisasi sebagai bentuk upaya pengamanan negara, padahal justru menjadi bentuk kemunduran demokrasi kita. Sejak tulisan ini dibuat, sudah ada beberapa orang meninggal dunia atas kebrutalan aparat, kampus-kampus diserang, penangkapan paksa dan ilegal dialami beberapa aktivis dan ratusan demonstran ditangkapi, digebuki tanpa perlindungan hukum. Bahkan per tanggal 1 September ini, sejak aksi demonstrasi berlangsung, menurut data KontraS sudah ada laporan 23 orang hilang.
Turunnya mahasiswa dan rakyat di Polman menjadi salah-satu bukti bahwa kita masih sadar dan masih mau memperjuangkan nasib sendiri. Munculnya titik api perlawanan di Polman juga menjadi upaya penyeragaman gerakan perlawanan yang kian bergejolak di berbagai daerah.
Aksi yang berlangsung seharian itu akhirnya menemui beberapa kemenangan kecil; kebijakan kenaikan tunjangan DPR RI yang dibatalkan dan kenaikan PBB-P2 di polman yang juga dicabut. Namun kemenangan besar masih perlu diperjuangkan yakni Reformasi Polri dan demokrasi seutuhnya.
Pengawalan putusan-putusan itu akan terus dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat yang tergabung dalam SEMARAK Polman, menurut Andi Baraq Mappasuise (ketua cabang GMNI Polman) dirinya dan beberapa elemen pimpinan yang tergabung dalam aliansi akan terus mengawal fakta integritas yang telah ditanda tangani oleh beberapa pihak berwenang. Ia juga menegaskan pengawalan terhadap putusan Bupati Polman yang membatalkan kenaikan PBB-P2 juga akan terus dilakukan guna memastikan semuanya benar-benar terealisasi.
Demonstrasi di Polman kemarin bukan sekadar peristiwa lokal, melainkan bagian dari gelombang perlawanan yang lebih luas. Kekecewaan terhadap kenaikan pajak, keserakahan DPR RI, dan brutalitas aparat adalah wajah nyata dari krisis politik dan sosial di negeri ini.
Aksi ini mengingatkan bahwa suara rakyat tidak bisa selamanya dibungkam. Selama ketidakadilan terus berlangsung, selama rakyat terus diperas dan ditindas, jalanan akan tetap menjadi ruang di mana suara kebenaran digemakan dengan lantang.
- Antara Kemarahan Rakyat, Manuver Elit, dan keharusan Keterorganisiran Gerakan Rakyat – Kompolnas

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings