Apakah yang lebih sunyi dari keramaian? Sebuah pertanyaan yang seolah mustahil, namun justru dalam sunyi itu, gerakan mahasiswa hari ini bergerak. Di jalan-jalan, di ruang-ruang kelas, di berbagai sudut kampus dan media sosial, mereka berdiri, bersuara, berbagi kata. Mereka menuntut perubahan. Tetapi ada apa dengan gerakan mahasiswa kini, yang di masa lalu begitu menggema, namun hari ini—apakah kita bisa mendengarnya dengan sebenar-benarnya?
Di era Soeharto, mahasiswa bagaikan obor yang menyala di tengah malam yang pekat. Suara mereka adalah suara rakyat, dan ketika mereka berbicara, seakan seluruh negeri berhenti dan mendengarkan. Mereka menggetarkan lapisan kekuasaan dengan demonstrasi, orasi, dan keberanian. Namun, di era digital ini, perlawanan mungkin tidak selalu sesederhana turun ke jalan. Sebuah generasi terlahir di tengah revolusi informasi; mereka terhubung secara daring, di mana ribuan tweet dan posting mengalir dalam hitungan detik. Pertanyaannya: apakah gerakan yang berseru dari layar kaca memiliki dampak yang sama dengan teriakan di jalanan?
Gerakan mahasiswa hari ini adalah gerakan yang terfragmentasi, berwarna-warni, dan mungkin lebih cair dari yang pernah ada. Mereka memperjuangkan isu yang lebih beragam: dari isu lingkungan, pendidikan, hak asasi manusia, hingga politik dan ekonomi. Di satu sisi, ini adalah kekuatan: mereka melihat ketidakadilan di berbagai aspek dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang dulunya dianggap terlalu kecil atau tak penting. Di sisi lain, keragaman ini membawa mereka pada risiko kehilangan fokus. Gerakan yang terpecah-pecah, terkadang terlalu individualistik, bisa menjauhkan mahasiswa dari sebuah “ruh” pergerakan yang kolektif.
Lantas, apakah mereka berhenti di situ? Di sini ada sebuah ironi—dalam kecepatan informasi, sering kali kita terlalu cepat puas pada tanda-tanda. Sebuah tagar trending, sebuah petisi dengan ribuan tanda tangan. Bukankah ini juga sebentuk ilusi kemenangan? Gerakan yang cepat dan menyala-nyala seperti api unggun di tengah angin, namun berisiko padam dalam hitungan menit.
Dan jangan lupa, pemerintah hari ini tidak lagi memakai cara lama untuk menekan. Ketika sensor fisik semakin ditinggalkan, mereka beralih pada algoritma. Mereka bisa menyusup dengan cara yang lebih lembut, membelokkan opini melalui arus informasi yang tanpa kita sadari diatur oleh mesin. Sekarang, di dunia yang semakin canggih, mahasiswa tak hanya harus mengalahkan aparat yang kasat mata, tetapi juga algoritma yang tak pernah tampak.
Di sini saya teringat sebuah catatan, sebuah peringatan dari Albert Camus. Dia berkata, “Orang harus memiliki dua pilihan: berbuat atau tidak berbuat, melawan atau menyerah.” Gerakan mahasiswa hari ini bukan hanya soal melawan, tetapi soal memilih melawan dengan cara yang lebih cerdas. Pertanyaannya, sejauh mana mereka berani keluar dari bayang-bayang layar, dari keamanan dunia virtual, dan menghadapi kenyataan fisik yang lebih berisiko?
Saya tidak ingin terdengar pesimis. Seperti halnya gerakan mahasiswa di masa lalu yang tumbuh dalam diam, saya yakin di balik layar-layar ponsel dan komputer, ada mereka yang sedang berpikir, merancang, dan berusaha melawan. Gerakan mahasiswa mungkin telah berubah wujud, tetapi semangat itu tidak hilang. Mereka adalah produk dari zaman yang terus bergerak, zaman yang mencetak mereka menjadi pejuang dengan gaya yang berbeda. Sunyi dalam keramaian, gerakan ini, pada akhirnya, tetaplah sebuah pencarian akan keadilan—sebuah jalan yang tak pernah tuntas dilalui.
GIPHY App Key not set. Please check settings