Kedai kopi telah menjadi simbol budaya modern, terutama di kalangan anak muda dan mahasiswa. Lebih dari sekadar tempat menikmati kopi, kedai kopi kini kerap dianggap sebagai ruang bebas di mana ide-ide besar saling bertemu dan berbenturan, di mana gagasan-gagasan kritis-mulai dari cara mengelabui dosen hingga tips and trik merebut negara-bermunculan.
Berbeda dengan sekretariat yang sarat formalitas, kedai kopi muncul sebagai titik kumpul yang lebih majemuk dan terbuka atas ragam perspektif. Kedai kopi seolah menjadi pusat konsolidasi yang lebih santai oleh gagasan-gagasan kritis dari aktivis a.k.a pentolan kampus dan gerombolan elite gerakan.
Kedai kopi yang sejak beberapa tahun terakhir mulai menjamur di Majene-atau bahkan daerah lain di Sulawesi Barat-menjadikan gerakan mahasiswa memiliki spectrum lebih luas. Bagi gerakan mahasiswa, kedai kopi kerap menjadi asal muasal ide perlawanan muncul, katanya.
Kopi dan perlawanan adalah dua entitas yang seakan berdiri sendiri namun memiliki keterkaitan kuat dalam sejarah sosial dan budaya. Kopi bukan hanya sekadar minuman, ia telah menjelma simbol pergerakan sosial, kebangkitan intelektual, dan bahkan perlawanan.
Melihat dari perspektif historis, kopi sendiri memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia. Diperkenalkan oleh bangsa Arab pada abad ke-15, kopi yang awalnya diminum di tempat-tempat berkumpul yang dikenal sebagai qahveh khaneh atau rumah kopi. Seiring waktu, rumah-rumah kopi ini kemudian menjadi pusat pertemuan intelektual di mana ide-ide baru diperdebatkan dan disebarkan. Di Eropa sendiri, rumah kopi menjadi simbol kebangkitan intelektual pada Abad Pencerahan (Aufklarung). Di sanalah para filsuf, seniman, dan kaum intelektual berkumpul untuk beradu gagasan mengenai berbagai isu sosial, politik, dan budaya.
Lebih dari sekadar minuman yang merangsang kefokusan, kopi menjadi simbol keterjagaan, sebuah cara untuk tetap “terbangun” secara harfiah maupun simbolik. Kopi menjadi medium perlawanan terhadap kebosanan, kemapanan, dan konformitas, yang selanjutnya menciptakan ruang bagi diskusi kritis dan pemberontakan intelektual.
Saat ini, kedai kopi tidak hanya menjadi tempat melepas penat buruh kerah putih atau sukarelawan kantor pemerintahan. Kedai kopi juga menjadi tempat paling populis di kunjungi oleh mahasiswa ketimbang perpustakaan kampus, entah sekedar nongkrong, mengerjakan tugas atau mulai menggosipi pemerintah. Maka tidak heran jika mengafirmasi bait puisi Wiji Thukul,
“Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar”
Mungkin bisa dilanjutkan dengan, “jika mahasiswa sudah menggosip di kedai-kedai kopi, pemerintah harus waspada, barang kali minggu depan pagar kantor Bupati akan roboh”.
Terlepas dari aktivitas perkopian mahasiswa yang kadang menjadi muasal gerakan progresif, namun wacana kritis yang lahir di meja warkop juga sering kali hanya berakhir sesaat setelah balik arah ke kosan atau sekret masing-masing. Kedai kopi yang diasumsikan menjadi ruang produktif ide perlawanan pun hanya sebatas tempat di mana gerombolan elite gerakan saling meromantisasi ide-ide itu.
Tidak jarang “seremonial” diskusi publik yang terselenggara di keda-kedai kopi hanya sebatas menggugurkan tanggungjawab organisasi atau hanya untuk memperkuat image atas “pelabelan aktivis” pada diri.
Selain sekret, pelataran kampus dan ruang kelas, meja kedai kopi juga sering kali menjadi penyaksi bagi mahasiswa-mahasiswa “si paling kiri” dalam upaya membangun personal brandingnya sebagai aktivis. Ironisnya, meja kedai kopi pula kadang menjadi medium transaksi antara elite gerakan dengan intel sebelum turun ke jalan.
Terlepas dari semua itu, kita tidak bisa menafikkan masih ada kelompok atau individu yang benar-benar menjadikan kedai kopi tidak hanya sebagai ruang romansa ide-ide ala aktivis kampus, tetapi juga berlanjut pada bagaimana merealisasikan ide-ide itu menjadi api perlawanan.
Perlawanan yang dimaksudkan ialah bukan sekedar parlemen jalanan yang kadang di mulai dari meja kedai kopi kemudian berakhir RDP (rapat dengar pendapat) di meja makan bersama Kasat Intel dan anak buahnya. Aksi yang berakar dari ide dan gagasan kritis seharusnya justru merangsek masuk pada kegelisahan akar rumput, buruh, petani, nelayan dan miskin kota. Sebagaimana kata Kanda Trotsky, mahasiswa seharusnya tidak hanya mendiskusikan ide dan gagasannya di ruang-ruang kelas tetapi bagaimana mereka menjembatani diri dan intelektualnya ke tengah-tengah rakyat yang tertindas.

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings