in

LoveLove

Koperasi Desa Merah Putih: Antara Semangat Ekonomi Kerakyatan dan Realitas Pemaksaan

Pada awal tahun 2025, pemerintah Indonesia meluncurkan program ambisius bertajuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih), dengan target pembentukan 80.000 koperasi desa hingga Juli 2025. Program ini diklaim sebagai upaya memperkuat ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui prinsip gotong royong dan kekeluargaan.

Namun, di balik tujuan mulia tersebut, muncul berbagai kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak. Program ini dinilai cenderung dipaksakan, kurang mempertimbangkan kondisi lokal, dan berpotensi menimbulkan masalah baru di tingkat desa.

Salah satu kritik utama terhadap program Kopdes Merah Putih adalah pendekatannya yang bersifat top-down. Pemerintah pusat menetapkan target kuantitatif tanpa mempertimbangkan kesiapan dan kebutuhan masing-masing desa. Hal ini berpotensi menggerus nilai-nilai dan kultur lokal yang telah lama berkembang.

Selain itu, sejumlah kepala desa di Kabupaten Purworejo menyatakan penolakan terhadap kebijakan pembentukan Kopdes Merah Putih. Mereka menilai program ini bersifat pemaksaan dan berpotensi mengganggu program desa lainnya. Salah satu kepala desa, Dwinanto, mengungkapkan bahwa para kepala desa sedang melobi agar kebijakan ini dibatalkan.

Penolakan ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara pemerintah pusat dan pemerintah desa dalam implementasi program. Jika tidak ditangani dengan bijak, hal ini dapat menimbulkan konflik dan menghambat tujuan awal program.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi (AKSES) dan pengamat koperasi, Suroto, juga mengkritik bahwa keberadaan Kopdes Merah Putih berpotensi menjadi ajang bagi para makelar proyek untuk meraup untung. Ia menilai bahwa sejak awal, koperasi ini dirancang secara serampangan dan tidak didasarkan pada prinsip-prinsip koperasi yang sesungguhnya.

Kekhawatiran ini diperkuat dengan adanya informasi bahwa dana desa sebesar 20% dijadikan jaminan pinjaman Rp3 miliar dari Bank Himbara untuk mendanai koperasi ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana tersebut.

Masalah tidak hanya itu, mayoritas pengurus Kopdes yang terbentuk saat ini tidak memiliki pengalaman dalam dunia perkoperasian. Mereka juga tidak memiliki keterampilan manajerial, bahkan belum terbiasa menyusun laporan keuangan atau membuat perencanaan usaha.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa koperasi yang dibentuk hanya akan menjadi formalitas tanpa aktivitas ekonomi yang nyata. Tanpa pendampingan dan pelatihan yang memadai, koperasi ini berisiko gagal dan justru membebani masyarakat desa.

Program Kopdes Merah Putih juga berpotensi tumpang tindih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah lebih dahulu eksis. Beberapa kepala desa menilai bahwa lebih baik memperkuat BUMDes yang sudah ada daripada membentuk koperasi baru yang belum tentu efektif.

Baca Juga  Menjadi Perempuan Mandiri: Antara Stigma dan Kebebasan

Tumpang tindih ini dapat menimbulkan kebingungan dalam pengelolaan usaha desa dan menghambat sinergi antara berbagai lembaga ekonomi di tingkat desa.

Meskipun pemerintah menyatakan bahwa keanggotaan koperasi bersifat sukarela, namun pendekatan yang digunakan cenderung memaksa. Menteri Koperasi, Budi Arie, menyatakan bahwa masyarakat tidak dipaksa, tetapi diberi kiat-kiat untuk bergabung.

Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini dapat menimbulkan tekanan sosial dan administratif bagi masyarakat desa untuk ikut serta, meskipun belum memahami sepenuhnya tujuan dan mekanisme koperasi.

Meskipun platform seperti Kopdesa.com telah disiapkan untuk memfasilitasi pendirian dan pengembangan koperasi secara digital, namun tidak semua desa memiliki akses dan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi tersebut.

Tanpa infrastruktur dan sistem pendukung yang memadai, koperasi yang dibentuk berisiko tidak dapat beroperasi secara optimal dan berkelanjutan.

Berkaca Pada Program Serupa yang Gagal

Untuk memberikan konteks historis dan memperkuat analisis kritis terhadap program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih), penting untuk meninjau program serupa yang pernah dilaksanakan di Indonesia dan mengalami kegagalan, seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang didanai melalui Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).

KUD didirikan pada era Orde Baru sebagai upaya pemerintah untuk memberdayakan ekonomi pedesaan melalui koperasi. Namun, banyak KUD yang mengalami kegagalan karena dibentuk atas inisiatif pemerintah pusat tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat desa, sehingga kurang memiliki rasa kepemilikan dari anggota.

KUD juga sering digunakan sebagai alat politik dan ekonomi oleh pemerintah, mengabaikan prinsip-prinsip koperasi yang seharusnya dijalankan secara mandiri dan demokratis. Serta sangat bergantung pada bantuan dan subsidi pemerintah, sehingga ketika dukungan tersebut dihentikan, banyak KUD yang tidak mampu bertahan.

Ditambah Krisis Ekonomi 1998 sehingga Intervensi Dana Moneter Internasional (IMF) mendorong pemerintah Indonesia untuk menarik peran negara dalam mengatur pangan dan pertanian, yang berdampak pada melemahnya KUD.

Kemudia BUMDes yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Desa tahun 2014 sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian desa melalui usaha yang dimiliki dan dikelola oleh desa. Namun, implementasi BUMDes juga menghadapi tantangan berat.

Banyak pengelola BUMDes yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi dalam mengelola usaha, sehingga berdampak pada kinerja BUMDes.

Hanya sekitar 10% BUMDes yang berhasil terdaftar sebagai badan hukum, yang menghambat akses mereka terhadap pendanaan dan kemitraan.

Baca Juga  Hijau dan Biru, Polewali Mandar Baru

tidak hanya itu, akibat Kurangnya Inovasi dan Diversifikasi Usaha banyak BUMDes yang menjalankan usaha yang serupa tanpa mempertimbangkan potensi dan kebutuhan lokal, sehingga menghadapi persaingan yang ketat dan margin keuntungan yang rendah. Selain itu, Kurangnya sistem pengawasan dan akuntabilitas yang efektif menyebabkan beberapa BUMDes mengalami penyalahgunaan dana dan korupsi.

Terakhir adalah Kegagalan Program Gapoktan dan Dana PUAP diluncurkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2008 dengan tujuan memberikan bantuan modal usaha kepada Gapoktan di seluruh Indonesia. Dana yang disalurkan mencapai Rp 5,2 triliun kepada 52.186 Gapoktan/Desa di 34 provinsi yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2008 dengan tujuan memberikan bantuan modal usaha kepada Gapoktan di seluruh Indonesia. Dana yang disalurkan mencapai Rp 5,2 triliun kepada 52.186 Gapoktan/Desa di 34 provinsi .

Namun, implementasi program ini menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan, diantaranya: pemotongan anggaran, penyalahgunaan dana bantuan, kelemahan regusali, dan Kapasitas Sumber Daya Manusia yang Rendah.

Implikasi bagi Program Koperasi Desa Merah Putih

Pengalaman kegagalan program KUD, Bumdesa, dan Gapoktan dan PUAP memberikan pelajaran berharga bagi pelaksanaan program Kopdes Merah Putih.

Apa itu?

Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas Untuk menghindari penyalahgunaan dana, diperlukan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel dalam pengelolaan koperasi.

Penguatan Regulasi dan Kelembagaan yang jelas dan mendukung diperlukan untuk memastikan koperasi beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi dan mampu bertahan dalam jangka panjang.

Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia seperti Pelatihan dan pendampingan bagi pengurus koperasi menjadi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola usaha secara profesional.

Terakhir adalah Partisipasi Aktif Masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan koperasi agar meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap keberhasilan koperasi.

Sebagai kesimpulan, program Koperasi Desa Merah Putih memiliki potensi untuk memberdayakan ekonomi desa jika dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat dan belajar dari kegagalan program sebelumnya seperti KUD, Bumdesa dan Gapoktan dan PUAP. Partisipasi aktif masyarakat, peningkatan kapasitas pengelola, serta sistem pengawasan yang efektif menjadi kunci keberhasilan program ini.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Syaharuddin Zaruk

Budak Korporat

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Marhaenisme Nahdliyin: Humanisme Religius

Direbutnya Kedaulatan Daerah Oleh Pusat.