Pemilihan Gubernur Sulawesi Barat 2024 sebentar lagi bergulir, ramai sosial media oleh foto dan narasi kampanye dari masing-masing pendukung pasangan calon (paslon) turut membuat euphoria kontestasi 5 tahunan ini semakin riuh dan menarik.
Nampaknya partisipasi politik di sulbar belum bisa seterbuka daerah lain, di mana calon-calon yang bermunculan didominasi oleh wajah-wajah lama. Hal demikian tentu bisa dimaklumi, mengingat provinsi ini baru berjalan 3 periode kepemimpinan.
Telah menjadi rahasia umum bahwasanya, dinamika politik di sulbar juga tidak bisa lepas dari dominasi politik keluarga yang terus beregenerasi. Kita bisa dengan mudah memetakan politik di Sulbar hanya dengan mengelompokkannya dalam kelompok keluarga. Di mana setiap kabupaten memiliki patron atas kelompok keluarga tertentu. Hal tersebut tentu menjadi suatu kemunduran jika mengukur tingkat kedewasaan politik daerah di Sulbar.
Majunya ABM dan AIM dalam perhelatan Pilgub Sulbar tidak lepas dari ambisi agar roda politik kelompok keluarga mereka tetap bisa eksis menari-nari di atas papan percaturan politik daerah. Banyak orang berasumsi bahwa hal demikian menunjukkan keretakan dalam keluarga politik ini, hal demikian kemudian dianggapnya menjadi sebab kekalahan telak pada pilcaleg 2024 kemarin. Ego bertumbuh dari masing-masing anggota keluarga yang tentu masing-masing juga telah memiliki basis militansinya sendiri. Namun di lain sisi, ada pula anggapan bahwa majunya kedua tokoh sentral keluarga “Masdar” ini merupakan startegi politik dalam menghadapi pilkada Sulbar 2024 mendatang.
Terlepas dari semua asumsi di atas, hal ini justru menunjukkan kemarukan atas kekuasaan. Bagi seorang politikus, masa jabatan hanyalah angka dalam aturan perundang-undangan, yang terpenting adalah bagaimana kemudian angka-angka itu terus berlipat agar stimulus kekuasaan tetap terjaga dari generasi ke generasi.
Lantas apa yang sebenarnya memotivasi kelompok keluarga Masdar atau kelompok keluarga politik lainnya tetap berusaha eksis atau bahkan berusaha mati-matian mempertahankan kekuasaannya. Tentu saja maksud dari ambisi yang mereka perlihatkan mudah kita telaah dan pahami.
Pada dasarnya, politik adalah salah satu arena paling dinamis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan di dalamnya kekuasaan memiliki peran utama. Sedang kekuasaan memainkan peran penting sebagai alat untuk melahirkan dan seterusnya menggerakkan kebijakan dan pengambilan keputusan. Namun, kekuasaan sering kali juga menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, ia membawa wewenang dan tanggung jawab, di sisi lain, ia dapat menyebabkan kegilaan-kegilaan yang justru melahirkan kebijakan yang merugikan banyak pihak.
Banyak politikus daerah entah individu ataupun kelompok politik yang secara terang-terangan atau tersembunyi mengupayakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Keinginan untuk tetap berada di puncak kekuasaan merupakan representasi dari naluri politik yang tak terhindarkan.
Salah satu motivasi utama politikus untuk mengamankan kekuasaan adalah manfaat ekonomi yang bisa mereka peroleh. Kekuasaan memberikan akses langsung ke sumber daya dan peluang untuk mengelola anggaran yang besar. Hal ini seringkali membuat politikus memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi atau keluarga dan golongan tertentu, belum lagi ada banyak militansi-militansi penyokong kekuasaan yang tak boleh lambat diberi makan.
Selain itu, pada level struktural, terdapat jaringan ekonomi yang saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa. Banyak politikus yang mendapat dukungan budget politik dari pihak-pihak tertentu yang dianggapnya sebagai investasi terhadap kekuasaan dengan harap investasi atau deposito tersebut akan berlipat dan berkelanjutan saat kekuasaan terlah berjalan.
Mempertahankan kekuasaan bagi kelompok politik keluarga tentu suatu keharusan agar nafas bertahan hidup dalam pemerintahan tetap terjaga. Tidak hanya lewat budget politik di awal, tetapi juga bagaimana kemudian mengkonsolidasikan kekuatan lewat anggota keluarga lainnya untuk menjaga stabilitas kekuasaan, entah dengan menempatkannya pada poros legislatif dan yudikatif atau menempatkannya pada posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.
Selanjutnya, berkaca pada masyarakat Sulbar, posisi politik tentu memberikan status sosial yang tinggi dan pengaruh signifikan terhadap norma dan kebijakan sosial. Jabatan politik menjadi simbol kesuksesan yang sangat dihargai dalam masyarakat. Oleh karena itu, mempertahankan posisi sebagai penguasa bisa menjadi cara jitu bagi politikus untuk menjaga status sosial dan dan memelihara agar hegemoni kekuasaannya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tak peduli persoalan daerah hilir mudik berdatangan, mereka akan tetap menjadi patron yang disegani dan dihormati sebagai pemegang kekuasaan yang bahkan kadang kala terlalu feodal dan primordialistik masyarakat menyamakannya Tuhan dengan panggilan “puang”.
Selanjutnya, ambisi untuk mengamankan kekuasaan, juga diperuntuhkan untuk tetap menjaga kebijakan, peraturan, dan arah perkembangan masyarakat agar tetap bisa terkontrol sesuai dengan arah politik yang dituju. Bagi beberapa politikus, kehilangan kekuasaan berarti hilangnya kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat dan kehilangan kontrol atas hasil kebijakan yang sudah mereka lahirkan sendiri.
Kita tentu sadar bahwa kelompok politik yang terus-terusan memegang tongkat kekuasaan akan lebih berpotensi melahirkan budaya koruptif dan nepotisme dalam pemerintahannya. Tidak hanya itu, praktik manipulatif dan penyalagunaan wewenang akan sering kita jumpai sebagai satu dari banyaknya persoalan. Kekuasaan yang terus diupayakan bertahan juga akan menemui resiko stagnasi dan menurunnya inovasi dalam pemerintahan, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat.
Lantas, apakah penjabaran di atas merupakan maksud dari ambisi politik dari kelompok keluarga politik ini? Tentu pertanyaan ini hanya bisa terjawab dari mereka atau pada saat mereka telah berhasil mengamankan kekuasaannya untuk 5 tahun mendatang.
Majunya ABM dan AIM pada pilgub Sulbar mendatang sekali lagi adalah manifestasi dari syndrome kekuasaan, karena jika makan adalah naluri dasar manusia, maka mengamankan kekuasaan adalah naluri dasar dari seorang penguasa. Untuk itu, hal yang wajar jika kakak beradik pentolan keluarga Masdar ini maju bersamaan, terlepas dari asumsi keretakan atau startegi politik yang sedang mereka lakoni.
Hal demikian juga adalah upaya agar anggota keluarga tidak menjadi gelandangan politik, terlebih jika rival politik atau kelompok keluarga politik lainnya yang selanjutnya mengambil alih kekuasaan. Upaya mengamankan kekuasaan ini juga bisa saja getol dilakukan karena ada sesuatu yang hendak disembunyikan dari publik, Wallahu a’lam.
GIPHY App Key not set. Please check settings
One Comment