Firdaus adalah cermin kegagalan budaya patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat, sebuah ideologi yang diperkuat oleh kebiasaan, norma, ajaran-ajaran kuno, stigma terhadap perempuan, dan tafsir agama yang misoginis. Ia lahir dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai pihak superior dan perempuan sebagai inferior. Firdaus tidak mudah tunduk pada ketidakadilan; sebaliknya, ia memilih untuk menegakkan kepala dan melawan segala bentuk penindasan.
Kisah hidup Firdaus diungkap oleh Nawal El-Saadawi, seorang dokter dan feminis asal Mesir yang menulis novel ini setelah mengamati kehidupan perempuan di penjara Qanatir. Novel yang pertama kali terbit pada tahun 1975 ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Nawal, yang terdorong untuk lebih memahami kehidupan perempuan di penjara, akhirnya bertemu dengan Firdaus. Awalnya, Firdaus enggan berbagi cerita, namun seiring waktu, ia mulai membuka diri dan menceritakan kisah hidupnya yang begitu mengerikan namun sekaligus memukau.
Kekerasan yang dialami Firdaus sejak dini berlanjut hingga usia remaja, ketika ia dipaksa menikah dengan seorang pria bernama Syekh Mahmoud. Pria ini terkenal dengan sifatnya yang kasar dan pelit. Setiap kali amarahnya meledak, Firdaus menjadi sasaran kemarahannya hanya karena ia seorang perempuan dan istri. “Pada suatu peristiwa ia memukul badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya pergi dari rumah dan pergi ke rumah paman.” (Hal. 63). Di titik ini, Firdaus memilih untuk melarikan diri, mencari kebebasan dari kekejaman yang terus menghimpitnya.
Kekerasan terhadap perempuan seperti yang dialami Firdaus bukanlah hal yang langka, terutama di negara-negara dengan budaya patriarki yang mendalam, seperti Kairo, Mesir. Dalam masyarakat yang menganggap perempuan sebagai objek seksualitas semata, perempuan sering kali tidak diakui sebagai subjek dengan hak, martabat, dan kebebasan yang setara dengan laki-laki. Dalam budaya seperti ini, perempuan sering dijauhkan dari ruang publik, sehingga hak-haknya dalam berbagai akses menjadi terenggut sepenuhnya.
Diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik, tetapi juga di ranah privat. Dalam konteks ini, hierarki patriarkal mengukuhkan posisi laki-laki sebagai kepala keluarga yang memiliki hak penuh untuk mengatur istrinya, seolah-olah ia seorang pembantu. Perempuan dipaksa untuk tidak bekerja dan tetap berada di dalam rumah, terbatas pada tugas-tugas domestik yang dikenal dengan istilah “sumur, dapur, dan kasur.”
Aturan untuk tetap berada di rumah ini semakin menjerat perempuan dalam ketidakberdayaan. Potensi mereka untuk berkembang, mengeksplorasi dunia luar, dan meraih kesempatan menjadi sangat terbatas. Tidak hanya itu, mereka juga sering kali dimiskinkan baik secara intelektual maupun finansial. Sistem budaya masyarakat yang memandang laki-laki sebagai entitas yang superior dan dominan semakin menekan dan memperkecil eksistensi perempuan, memaksa mereka hidup dalam bayang-bayang patriarki yang menghalangi kebebasan dan perkembangan diri mereka.
Bagi saya, Firdaus adalah perempuan yang patut mendapatkan apresiasi atas pemberontakan yang dilakukannya. Ia berani menentang pelecehan yang dilakukan oleh pamannya yang bejat. Firdaus mengungkapkan pengalamannya dengan jujur, “Saya melihat tangan paman saya bergerak-gerak dibalik buku yang sedang ia baca, menyentuh kaki saya. Saat berikutnya, saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya.” (Hal. 20). Keberaniannya juga tampak saat ia melarikan diri dari suaminya yang setiap hari memukulinya, menolak untuk menerima kekerasan sebagai takdir yang harus diterima perempuan.
Perlakuan-perlakuan seperti inilah yang membentuk identitas Firdaus sebagai seorang pelacur. Ia menyadari bahwa dalam budaya patriarki, laki-laki memegang otoritas simbolik penuh yang membentuk persepsi tentang tubuh perempuan sebagai objek, bahkan sebagai pelacur. Namun, Firdaus bangga dengan identitasnya. Baginya, pernikahan sah hanya berarti penderitaan yang tak ada habisnya bagi perempuan. Ia menolak peran itu dan memilih kebebasan. “Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.” (Hal. 133).
Ketika Firdaus sukses menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo, ia mengenal banyak orang terpandang, mulai dari polisi, pengusaha, hingga wartawan, baik dalam maupun luar Kairo. Suatu ketika, seorang pria datang kepadanya dan meminta untuk menikahinya. Lelaki ini seorang germo. Masa lalu Firdaus yang kelam membuatnya enggan untuk menjalin hubungan asmara, apalagi pernikahan. Namun, lelaki itu memaksa dan mengancam Firdaus dengan sebuah pisau. Ketika ia hendak menghunuskan pisau tersebut, Firdaus dengan gesit menangkalnya dan dengan cepat membalikkan keadaan, menancapkan pisau itu ke tubuh lelaki tersebut.
Akibatnya, Firdaus dilaporkan kepada seorang Pangeran Arab, dibawa polisi, dan dipenjara. Ia kemudian divonis hukuman mati. Namun, yang perlu kita ketahui adalah bahwa Firdaus menyimpan banyak rahasia gelap dari orang-orang terpandang yang menjadi pelanggan-pelanggannya. “Sayalah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki–karena mereka takut untuk membiarkan saya hidup,” ujarnya. Ketika ia berhasil mengungkap kejahatan-kejahatan yang tersembunyi di balik sosok-sosok penguasa itu, ganjarannya adalah hukuman mati. Firdaus menolak keras tawaran untuk dibebaskan dari vonis tersebut. Baginya, kematian adalah jalan sejati menuju kebahagiaan abadi.
Melalui perjuangan hidupnya yang penuh penderitaan, Firdaus tidak hanya menggambarkan realitas keras yang dialami banyak perempuan, tetapi juga menantang norma-norma yang mengekang kebebasan mereka. Nawal El-Saadawi berhasil menulis sebuah karya yang tidak hanya menyentuh, tetapi juga memberikan refleksi kritis terhadap ketidakadilan yang berlangsung di masyarakat. Firdaus, meski melalui jalan penuh konflik dan tragedi, menunjukkan kepada kita pentingnya memilih kebebasan dalam hidup dan menolak untuk menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Buku ini bukan hanya kisah tentang seorang perempuan, tetapi juga suara kolektif bagi perempuan yang berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu diskriminasi dan penindasan yang telah mengakar dalam masyarakat.
Data Buku
Judul: Perempuan di Titik Nol
Penulis: Nawal El-Saadawi
Kategori: Fiksi Arab
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Penerjemah: Amir Sutaarga
ISBN: 978-979-461-867-7

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings