in

LoveLove

Menjadi Perempuan Mandiri: Antara Stigma dan Kebebasan

“Kenapa sih kamu selalu sendirian? Nggak punya teman, ya? Sesekali coba cari pacar, biar nggak kelihatan kesepian.” Ungkapan seperti itu mungkin bukan hal baru, terutama bagi perempuan-perempuan yang terbiasa sendiri dan mandiri dalam menjalani keseharian. Namun, bagi saya, ucapan semacam ini telah menjadi pengingat yang berulang—seolah-olah pilihan untuk berdiri sendiri adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.

Saya tumbuh dalam keluarga yang lebih didominasi oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Ibu saya sendiri bukan tipe perempuan yang mudah bergantung pada orang lain. Namun, di tengah budaya patriarki yang terus memandang perempuan sebagai pihak yang harus dilindungi atau diarahkan, kemandirian seperti ini sering kali dianggap anomali. Pilihan hidup untuk berdiri sendiri tanpa pasangan sering kali dikritik, bukan diapresiasi.

Ketika seorang perempuan mandiri, dia tidak hanya harus menghadapi tantangan kehidupan, tetapi juga melawan stigma yang melekat kuat dalam masyarakat. Menjadi perempuan mandiri bukanlah hal yang mudah, bukan hanya karena beban pekerjaan atau tanggung jawab, tetapi karena tekanan sosial yang terus mempertanyakan validitas pilihan hidupnya.

Sifat kemandirian sering kali dianggap menyimpang, terutama ketika dimiliki oleh perempuan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi kemandirian dalam hubungan pasangan, tetapi juga dalam hal pertemanan. Beberapa perempuan mungkin memilih untuk memiliki lingkaran pertemanan yang lebih kecil, yang terasa lebih nyaman dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Namun, stigma terhadap perempuan mandiri tampaknya masih mengakar kuat dalam masyarakat. Ungkapan-ungkapan seperti, “Kenapa selalu sendiri? Emang nggak kesepian?” sering kali terdengar, meskipun seharusnya itu bukanlah hal yang perlu dipertanyakan atau dinilai. Stigma semacam ini justru menggambarkan ketidakpahaman terhadap hak perempuan untuk menentukan sendiri bagaimana mereka menjalani kehidupan sosialnya.

Bukan berarti perempuan mandiri menutup diri terhadap pendapat orang lain, tetapi mengapa kemandirian masih dianggap sesuatu yang salah? Perempuan yang mandiri justru mampu menjalani keseharian mereka dengan cara yang bermakna, pergi menjelajah tempat-tempat yang belum pernah dipijak, belajar untuk mengasah nalar kritis, mengenal arti kehidupan, serta memahami diri sendiri dengan lebih baik.

Baca Juga  Apa Salahnya Jika Perempuan “Telat” Menikah?

Kemandirian ini juga memungkinkan mereka menumbuhkan rasa empati yang lebih dalam, baik untuk diri sendiri maupun orang-orang di sekitar. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh gangguan seperti saat ini, perhatian terhadap diri sendiri bukanlah bentuk keegoisan, tetapi justru cara untuk lebih mengenal dan memahami diri. Kemampuan ini menjadi semakin langka di tengah riuhnya kehidupan media sosial yang kerap mendistraksi waktu hening kita, yang seharusnya dimanfaatkan untuk kontemplasi dan refleksi diri.

Namun, stigma seperti ini sering kali melanggengkan anggapan bahwa perempuan yang hidup mandiri pasti kesepian atau bahkan lemah. Padahal, kenyataannya, banyak perempuan mandiri yang mampu menjalani segala urusan mereka dengan baik tanpa bergantung pada siapa pun. Kemandirian mereka seharusnya dilihat sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Kondisi ini menjadi semakin nyata ketika perempuan memasuki lingkaran sosial yang lebih luas. Sering kali mereka justru menjadi sasaran komentar menyindir, seperti dianggap kesepian atau dinilai terlalu ketat pada diri sendiri sehingga membuat laki-laki enggan mendekat.

Sulit rasanya hidup di tengah masyarakat yang masih terbelenggu oleh ajaran lama, di mana perempuan sering kali dipandang sebagai makhluk kelas dua—lemah, selalu membutuhkan pertolongan, dan diharapkan untuk selalu patuh. Stigma seperti ini terus diarahkan kepada perempuan, tetapi jarang, atau bahkan tidak pernah, berlaku bagi laki-laki.

Namun, meskipun perempuan seringkali dihantui oleh stigma ini, sebenarnya konsep kemandirian dalam hubungan bisa membawa manfaat yang besar. Bukankah akan lebih baik jika kita membangun hubungan dengan pasangan atau teman yang mandiri sejak awal? Dengan begitu, hubungan tersebut bisa lebih sehat dan saling mendukung.

Penting untuk diingat, meskipun perempuan mandiri, hal itu tidak berarti mereka menutup diri dari hubungan sosial atau emosional. Justru, perempuan yang mandiri sering kali lebih bijak dalam memilih hubungan yang sehat, yang didasarkan pada kesetaraan dan saling pengertian. Mereka tahu kapan mereka membutuhkan dukungan dan kapan mereka dapat berdiri sendiri. Kemandirian bukanlah penghalang untuk memiliki ikatan emosional yang dalam, tetapi lebih kepada kemampuan untuk tidak bergantung pada orang lain untuk merasa lengkap atau bahagia.

Baca Juga  Kelas Bahasa Inggris Beralih ke Digital: Bagaimana Zoom Mengubah Pendidikan EFL 

Kemandirian ini juga membuka jalan bagi perempuan untuk menavigasi dunia dengan cara mereka sendiri, mengejar karir, pendidikan, dan tujuan hidup tanpa terhalang oleh ekspektasi sosial yang sering kali membatasi. Dengan kata lain, perempuan mandiri berpotensi menjadi agen perubahan yang dapat menginspirasi perempuan lainnya untuk mengikuti jejak mereka, keluar dari bayang-bayang peran tradisional yang sempit, dan meraih kebebasan yang sejati.

Pada akhirnya, kemandirian perempuan harus dipandang sebagai sebuah kekuatan, bukan ancaman terhadap norma sosial yang ada. Masyarakat perlu menghargai dan mendukung pilihan hidup perempuan, tanpa memberi label negatif atau menilai mereka hanya berdasarkan status hubungan atau ketergantungan mereka terhadap orang lain. Stigma yang menganggap perempuan mandiri sebagai sesuatu yang aneh atau kesepian harus dihentikan. Sebaliknya, kita perlu merayakan keberanian perempuan untuk berdiri sendiri dan menjalani hidup sesuai dengan keinginan dan tujuan mereka. Dengan itu, perempuan bisa lebih bebas, lebih kuat, dan lebih merdeka dalam setiap langkah hidupnya.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Sekar Jatiningrum

Pecinta karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan, penggemar cinema of contemplation, dan penikmat rutinitas monoton yang tampak membosankan, namun sejatinya membebaskan.

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Si Sekrup dan Sepenggal Cerita Buruh Upahan

Romansaktivis : Anwar dan Demonstrasi yang Melempem