in

LoveLove

Negeri Mesin Ketik: Ketika Sejarah Dihapus, Ingatan Dipoles

“Freedom is the freedom to say that two plus two make four. If that is granted, all else follows.”—George Orwell, 1984.

Ketika Menteri Kebudayaan berbicara tentang penulisan ulang sejarah, yang terdengar bukan lagi gema akademik, melainkan desisan mesin-mesin ketik dari Ministry of Truth di dalam novel 1984 karya George Orwell—sebuah kementerian yang menulis bukan untuk mengingat, melainkan untuk menghapus. Di sana, kebenaran tak lebih dari lembar kerja; bisa disunting, dicoret, bahkan dibakar jika tak lagi relevan dengan kehendak Partai.

Winston Smith, tokoh utama novel itu, bukan jurnalis, bukan sejarawan, tapi buruh kebenaran. Ia duduk setiap hari di depan mesin ketik dan membunuh fakta: mencabut nama-nama dari arsip, menghapus eksistensi orang yang tak lagi “berguna”, dan mengganti narasi lama dengan cerita baru sesuai garis ideologis Partai. Orwell menyebut proses ini sebagai reality control—kontrol atas kenyataan itu sendiri.

Dalam dunia 1984, “Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.” Maka sejarah bukanlah sesuatu yang bisa diingat, tapi sesuatu yang harus dipatuhi. Ia tak lagi menjadi cermin bangsa, tapi topeng penguasa.

Dan kini, suara mesin ketik itu seperti menggema kembali—bukan lagi di London distopia, tapi di negeri yang masih penuh luka dan abu dari sejarah yang belum selesai dikuburkan. Ketika pemerintah bicara tentang rekonsiliasi kebudayaan, kita bertanya: benarkah ini usaha menyembuhkan? Ataukah ini hanya bedak tipis pada wajah sejarah yang bopeng? Apakah ini jalan menuju pengakuan dosa kolektif, atau justru pemutihan arsitektur ingatan bangsa?

Dalam budaya Sulawesi Selatan, kita mengenal falsafah luhur: Malilu sipakainge, mali’ siparappe, malisura sipakainga. Sebuah prinsip bahwa kesalahan tidak untuk ditutup-tutupi, melainkan untuk diingat bersama, diperbaiki bersama, dan dipikul bersama. Tetapi bagaimana mungkin kita bisa saling mengingatkan, jika negara sendiri hendak menjadikan arsip luka sebagai naskah fiksi?

Baca Juga  Menjadi Perempuan Mandiri: Antara Stigma dan Kebebasan

Sejarah: Dari Cermin Menjadi Cermin Palsu

Dalam 1984, Winston menyadari satu hal penting: jika segala catatan diubah, dan semua memori dikendalikan, maka kebenaran sejati tidak pernah ada. Ia hanya menjadi semacam kepercayaan umum yang dibentuk secara paksa melalui pengulangan dan sensor. Orwell menyebut kondisi ini sebagai doublethink—kemampuan untuk memegang dua hal yang saling bertentangan dan mempercayai keduanya secara bersamaan.

“The past was erased, the erasure was forgotten, the lie became truth.” —Orwell

Dan inilah yang kini mengintai negeri ini: Kita tak lagi tahu mana sejarah, mana propaganda. Mana luka, mana legenda.

Mereka yang dulu menggenggam senapan dan membungkam rakyat, kini menggenggam pena dan menulis ulang buku pelajaran. Bukan untuk menyembuhkan luka kolektif bangsa, tapi untuk membungkamnya.

Jika sejarah ditulis oleh mereka yang berdiri di atas tumpukan tubuh, maka generasi masa depan hanya akan membaca halaman yang bersih dari darah—tapi juga hampa dari kebenaran.

Negara dan Mesin Ketik

Dalam negara mesin ketik seperti dalam 1984, pemerintah tak lagi perlu menyensor rakyat secara langsung—rakyat akan menyensor dirinya sendiri. Ketakutan, kebingungan, dan kehilangan memori menjadi senjata paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Orwell menulis:“Power is in tearing human minds to pieces and putting them together again in new shapes of your own choosing.”

Di negeri ini, kita sedang menyaksikan upaya perlahan namun pasti untuk membentuk kembali wajah masa lalu sesuai bentuk wajah penguasa hari ini. Ini bukan pelurusan sejarah—ini pembengkokan nurani.

Sejarah: Antara Siri’ dan Pacce

Jika di dalam 1984 kebenaran adalah konstruksi negara, maka dalam kebudayaan kita, kebenaran adalah urusan batin—siri’ na pacce. Harga diri dan empati bukan dibentuk oleh narasi resmi, tapi oleh keberanian untuk mengakui luka, bahkan jika luka itu memalukan.

Baca Juga  Dinasti Politik; Merusak Kualitas Perpolitikan Daerah

Sejarah yang jujur bukan hanya tentang kehebatan dan kemenangan, tapi juga tentang pengkhianatan, pengusiran, penyiksaan, dan kematian. Dan jika kita mencabut semua itu dari buku sejarah, maka generasi mendatang akan tumbuh seperti rumput yang dipaksa berdiri di atas beton: hijau, tapi tak berakar.

Bangsa yang Tanpa Memori

“If you want a picture of the future, imagine a boot stamping on a human face—forever.” —Orwell, 1984

Maka ketika pemerintah berkata ingin “menulis ulang sejarah”, mari kita bertanya dengan jujur: Apakah ini demi kebenaran, atau demi kekuasaan?

Jika yang menulis adalah tangan yang pernah membunuh, maka sejarah hanya akan menjadi eulogi yang dirancang sendiri oleh algojo dan jika kita membiarkannya, maka kita bukan sedang membangun bangsa, tapi sedang mengoperasikan mesin ketik warisan Winston Smith—yang bekerja bukan untuk mencatat kebenaran, tetapi untuk menghapusnya.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Kirim Tulisan

Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.

KIRIM TULISAN
Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Ahmad Rifai

Saya mahasiswa semester 4—makhluk semi-dewasa yang hidup di antara skripsi yang belum dimulai dan idealisme yang belum tuntas dirapikan. Otakku penuh kutipan filsuf, tapi dompetku sering penuh angin dan struk kopi sachet. Maklum mahasiswa yang kadang-kadang juga disebut sebagai mahasusah

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Fadli Zon Menyangkal Luka Kolektif 1998: Ketika Kebodohan dan Penghinaan Dipadukan

“Wahabi Lingkungan”: Ketika Kritik Dijawab dengan Pelabelan