Di tengah hiruk-pikuk Pilkada Sulawesi Barat yang sisa beberapa hari lagi menemui ujung. Ada sebuah fenomena baru sebagai medium untuk menampilkan narasi politik di hadapan publik. Fenomena yang semakin memperuncing hubungan antara politik, media sosial, dan ekosistem trend dan budaya lokal.
Di dunia yang serba terhubung ini, di mana era digital telah menggerogoti hingga ke ruang dapur masyarakat kota dan desa. Influencer atau selebritas digital menjadi instrumen baru yang tidak hanya meningkatkan antusias masyarakat terhadap euphoria politik tetapi juga kemudian menjadi salah-satu alat untuk mempengaruhi pilihan politik.
“influencer daerah”—sekelompok figur publik yang memiliki pengaruh luas di ranah digital—mulai menjadi komoditas politik akhir-akhir ini. Pengikut dan engagement rate adalah bargaining dalam upaya hiring negotiations antar kandidat dan si “Seleb”. Namun di balik semua itu, ada pertanyaan yang kemudian muncul. Seberapa besar pengaruh influencer dalam bingkai politik, khususnya Pilkada Sulbar 2024.
Jika kita menengok kembali pada sejarah panjang Indonesia, politik tidak pernah benar-benar lepas dari ketokohan atau public figure. Namun saat ini, jika membicarakan ketokohan, pikiran tidak hanya akan mengafiliasikannya dengan tokoh agama, pendidikan, politik atau tokoh masyarakat lainnya. Lebih dari itu, era digital memperluas sebaran makna dari ketokohan.
Politik tidak lagi sekadar melibatkan elit partai politik atau figur lokal yang sudah mapan atau memiliki pengaruh dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat, tetapi juga para influencer—sebuah entitas yang lebih luwes, dinamis, dan mudah dipasarkan. Mereka adalah “selebritas digital” yang memanfaatkan platform media sosial seperti Instagram, TikTok, atau Facebook untuk meraup popularitas, sekaligus menciptakan aura otoritas sosial.
Seiring dengan semakin tingginya cost politik serta ketatnya persaingan, pasangan calon kini mulai melirik para influencer daerah dalam upaya untuk membantu meningkatkan popularitas atau bahkan sampai mempengaruhi pilihan politik masyakarat. Hal inilah yang kemudian memunculkan fenomena “obral harga” para influencer atau selebritas digital dari yang followers 5K-an hingga mereka yang telah memiliki engagement rate yang sudah cukup menjual.
Pada fenomena semacam ini, kandidat calon tidak ubahnya seperti produk yang siap dipasarkan. Namun dengan nuansa yang lebih mendalam dan konsekuensi yang jauh lebih besar: demokrasi yang semakin terdistorsi oleh logika pasar.
Endorsement influencer media sosial tentu berbeda dengan endorsement tokoh masyarakat, secara ketentuan-ketentuan kerja dan apalagi budgeting. Pada tradisi politik terhadulu, tokoh masyarakat cukup membersamai kandidatnya di titik kampanye atau mengeluarkan pernyataan dukungan sudah cukup mampu mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Sedang influencer, tentu berdasar pada perjanjian kerja yang disepakati kedua belah pihak pada saat teken kontrak. Karena asas endorsement tidak didasarkan pada kedekatan emosional atau pandangan politik tertentu, melainkan karena ada kecocokan harga.
Lalu, bagaimana dengan pengaruh mereka terhadap masyarakat? Di balik layar, fenomena ini mungkin bisa dipandang sebagai simbol kemajuan: kampanye politik yang mengadaptasi teknologi dan trend modern dan menjangkau pemilih muda dengan cara yang lebih menarik. Namun, jika kita memandang lebih dalam, kita akan menemukan bahwa di balik fenomena ini, ada komodifikasi politik yang meresap perlahan ke dalam struktur sosial kita.
Pada masyarakat tradisional, dasar pilihan politik bisa saja lahir dari kedekatan emosional atau cerita historical antara kandidat dan calon pemilih. Namun dengan adanya influencer, semuanya tereduksi. Pengaruh mereka sering kali tidak lebih dari sekadar produk iklan belaka, dan dampaknya terhadap iklim politik lebih banyak bersifat superfisial: menyentuh permukaan tanpa pernah benar-benar menggali inti permasalahan yang ada.
Salah-satu ketentuan influencer politik adalah bagaimana menyajikan pesan politik dengan kemasan yang menarik dan kekinian. Sajian semacam inilah yang cenderung mereduksi keterlibatan masyarakat dalam demokrasi yang lebih substansional. Tentu saja, fenomena demikian tidak serta-merta buruk, tetapi kita perlu bertanya: apakah seperti ini sajian politik dari para kandidat? Apakah ini bentuk keterlibatan masyarakat yang utuh, atau justru sebuah ilusi yang dijual dengan harga yang mungkin hanya ratusan sibu sekali repost.
Terlepas dari semua itu, memang tidak bisa dinafikkan bahwa keberadaan influencer cukup mampu menggaet segmen di luar masyarakat tradisional seperti anak muda yang hidupnya tidak pernah lepas dari digital. Namun kita perlu sadari, fenomenan ini memberikan dua konsekuensi; penggunaan influencer memang mempercepat proses kampanye dan memungkinkan lebih banyak orang untuk terlibat dalam pemilihan umum. Namun, nilai-nilai demokrasi kita bisa tergantikan oleh pendekatan yang lebih pragmatis, yang mengedepankan popularitas, penampilan, dan “jual beli” dukungan.
Kita dihadapkan pada sebuah kenyataan yang tak bisa kita elakkan: politik tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas dari faktor ekonomi atau politik menjadi ruang industri bertumbuh, tidak terkecuali industri kreatif. Namun, jika kita membiarkannya terseret lebih ke dalam logika pasar, kita mungkin akan kehilangan esensi dari politik itu sendiri—sebuah proses kolektif yang bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama, bukan sekadar persaingan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
GIPHY App Key not set. Please check settings