Mencoba menelusuri labirin politik negeri yang sarat akan kecurangan, rasa-rasanya sudah menjadi hal yang berulang kali dilakukan, yang pada akhirnya selalu berujung pada kepasrahan dan pesimistik.
Politik uang (money politics) menjadi satu dari banyak hal buruk yang selalu menjadi fenomena umum setiap penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan. Seolah-olah kehadirannya seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritual demokrasi kita hari ini.
Menggunakan politik uang sebagai instrumen dominan pada momen kontestasi politik bisa saja menjadi akar dari segala kejahatan yang akan lahir di hari-hari berikutnya. Suara masyarakat yang seharusnya menjadi nadi kehidupan berbangsa, justru kini coba untuk diperjualbelikan sebagaimana komoditas di pasar politik. Demokrasi yang dulu diperjuangkan oleh para pendahulu dengan darah dan air mata, kini malah menjelma menjadi lapakan atau pasar transaksi suara yang terbuka dan brutal.
Pemimpin yang dilahirkan oleh transaksi semacam ini justru akan melahirkan hutang budi terhadap uang itu sendiri, bukan lagi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai tanggungjawabnya. Tidak hanya itu, budaya kotor ini pun akan terus terjaga dan pada akhirnya menjadi tradisi politik tiap momen pemilihan. Pemimpin yang lahir dari praktik politik uang akan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Adalah hal yang sudah sering terdengar bahwa praktik politik uang merusak integritas demokrasi. Pemimpin yang menang dalam pemilihan dengan praktik semacam itu akan dipertanyakan legitimasi kemenangannya. Tidak hanya tentang itu, menjadi runutan persoalan berikutnya adalah membawa masyarakat pada posisi kehilangan kepercayaan pada sistem politik, hingga apatisme pun merajalela, budaya pragmatis akan terus terjaga dan kian menjamur dari kota ke desa.
Uang tidak hanya sekedar alat transaksi; ia telah menjelma menjadi bahan bakar yang kemudian mempercepat laju kendaraan korupsi dan ketidakadilan sosial. Jauh di dalam kerumitan struktur kekuasaan, ia memperlihatkan wajah-wajah gelap kongkalikong yang kemudian dilegitimasi sebagai sesuatu yang lumrah, meski segalanya harus dibayar dengan harga mahal; nilai-nilai moral dan etika.
Hampir semua daerah di Indonesia masih rentan dan hampir semua politisi masih berpotensi melakukan praktik politik uang, tidak terkecuali di Polewali Mandar. Politik uang di Polewali Mandar seolah menjadi hal lumrah karena hampir dilakukan oleh semua orang.
Praktik politik uang semakin tumbuh subur bukan tidak beralasan, Polman dengan jumlah penduduk terbanyak di Sulawesi Barat memberikan resiko dan tantangan tersendiri dalam membendung praktik tersebut. Belum lagi tingkat angka kemiskinan yang telah mencapai 15,97% dari total 69.680 jiwa. Tidak heran jika bahkan sebagian orang justru menanti-nantikan penyelenggaraan pesta demokrasi ini dikarenakan transaksi politik yang pragmatis telah menjadi tradisi.
Tidak berhenti sampai disitu, salah-satu alasan mengapa kemudian potensi terjadinya praktik politik uang tetap terjadi dikarenakan struktur hukum yang masih memiliki celah atau bahkan sama halnya suara juga bisa diperjualbelikan.
Melihat persoalan ini dalam konteks pemilihan Bupati 2024 di Polewali Mandar mendatang. Masing-masing kandidat tentu akan menjawab bahwa mereka menolak politik uang, namun tidak ada yang secara revolusioner melawan praktik kolot itu selain Dirga-Iskandar. Mengapa demikian? Salah-satu gagasan politik yang dibawa oleh pasangan calon yang akrab dengan akronim Dig4skan ini adalah soal ketegasannya dalam menolak atau bahkan melawan praktik politik uang.
Dirga sendiri mengklaim bahwa sikap tegas tersebut tidak satu dua kali diutarakan melainkan bahkan telah ia lakukan pada pemilihan umum sebelumnya. Hal demikianlah yang kemudian tidak memberikan sedikitpun rasa takut atau ragu atas konsekuensi hasil perolehan suaranya.
Sikapnya terhadap praktik politik uang semakin dikuatkan oleh kehadiran Iskandar Muda sebagai calon wakil Bupatinya, di mana kita tahu ada nama besar yang dipikul, yaitu Baharuddin Lopa, seorang yang tak perlu lagi dipertanyakan soal integritasnya. Baharuddin Lopa seolah menjadi keyword jika membicarakan kejujuran, tanggung jawab dan integritas di negeri ini, seorang yang lahir di daerah yang justru politik uang kian membudaya, Polewali Mandar.
Namun kembali lagi, apa yang diimpikan Dirga-Iskandar bisa saja hanya paripurna di dalam pikiran. Jika mengingkan kemenangan, Dirga-Iskandar harusnya sadar akan realitas yang telah terjadi selama ini, di mana praktik politik uang tidak hanya bicara soal bagaimana transaksi jual beli suara dengan calon pemilih tetapi juga bahkan sampai pada bagaimana mengkonsolidasikan semua stakeholder atau entitas entah itu perangkat penyelenggara atau bahkan pengawasan. Kerentanan dan potensi kecurangan itu tidak hanya ada pada individu pemilih, tetapi juga pada tingkatan instansi.
Terlepas dari ketegasan Dirga-Iskandar dalam menolak praktik politik uang, kita tidak bisa menafikkan variabel pemilih lainnya yang mungkin saja akan menguatkan keteguhan Dirga-Iskandar yaitu mereka yang benar-benar memilih atas dasar gagasan yang ditawarkan atau basis ril seperti penerima bantuan beasiswa-yang seargumentatif apapun Dirga-Iskandar menegaskan tidak ada politisasi di dalamnya-mereka akan tetap memilih atas dasar bantuan itu.
Sebagai masyarakat, kita perlu merenungkan kembali seperti apa peran kita dalam kontestasi politik ini. Apakah hanya sebagai pemilih yang akan menjadi penonton pasif dan terjebak dalam siklus praktik politik uang yang tidak berkesudahan? Atau, justru bangkit, memutuskan siklus ini agar tidak semakin membudaya dan menjadi tradisi lima tahunan setiap pemilihan.
Apapun visi yang coba diwartakan dan ditawarkan oleh Dirga-Iskandar, sepertinya akan berhadap-hadapan dengan tembok besar yang untuk merobohkannya harus ikut dalam siklus tradisi kecurangan. Walaupun di lain sisi selalu ada harapan terhadap keteguhan dan sikap tegas itu agar tetap didorong untuk Polman yang lebih baik kedepannya. Persoalan bagaimana hasil tanggal 27 nantinya, biarkan langit yang menuliskannya. Wallahu a’lam.
GIPHY App Key not set. Please check settings