Siang itu, langit Kota Halabis berbalut awan hitam tebal, seperti hari-hari sebelumnya di beberapa bulan terakhir, hujan akhirnya membasahi pemukiman kota yang sebelumnya didera panas.
Setelah Putusan Pengadilan tahun lalu, Tanggul Hiralia (tempat dimana tante Mia dulunya berjualan) kini telah berubah menjadi lahan luas yang katanya akan dibangun perumahan mewah, tak hanya itu, pemerintah dan pengusaha (yang menginvest disana) dengan bengis terhadap alam akan mereklamasi karena kebetuhan lahan yang masih kurang. Yah mau tidak mau (dengan terpaksa) dan dengan kompensasi yang tidak seberapa itu, Tante Mia merelakan lapaknya direlokasi ke pinggiran kota.
Di tempat baru Tante Mia berjejeran lapak-lapak dan warung yang sama direlokasi, toh hari ini makin gencar pembangunan yang justru menyulitkan rakyat yang berekonomi menengah kebawa, tetapi mempermudah kalangan borju tentunya.
Warung Tante Mia bertetangga dengan warung penjual nasi goreng, namanya Bu Lety. Bu Lety paling dongkol ketika sapaan Bu Lety diganti Anwar menjadi Bu’ Let atau yang ketika dibaca cepat “Bulet”. Bu Lety doyan ngerumpi dengan ibu-ibu warung lainnya, termasuk Tante Mia pastinya. Si Bu’ Let juga gila status dan gila hormat, dengan sedikit sombong ia sering menceritakan anak-anaknya yang katanya ada yang jadi dosen, ada yang jadi pegawai bank dan lainnya.
Pernah suatu hari, di waktu pagi yang sudah menua. Setelah membuka warung di jam 8 tante Mia beberes untuk menjamu pelanggan. Tidak lama setelah itu, datanglah dua orang anak yang masih menggunakan seragama SMA kemudian memesan nasi campur sebagai menu andalan Warung Tante Mia. Anak itu makan dengan lahap dan sesekali mengobrol.
Setelah membereskan dapur warungnya, Tante Mia melipir ke beranda warung, di depan sudah terlihat duduk Bu’ Let tepatnya bersandar cantik di bale-bale depan warung. Tante Mia dan Bu’ Let pun mengobrol seru juga, seperti sebelum-sebelumnya.
***
Allahuakbar… Allahuakbar…..!!! terdengar suara azan dari toak masjid yang berjarak 200 Meter dari warung tante Mia. Azan telah selesai, khutbah jum’at pun mulai masuk pada rentetan Do’a penutup khutbah. Tante Mia kembali ke depan warung setelah melaksanakan sholat dhuhur dan merapihkan mukenanya.
Di depan warung, Bu’ Let sudah duduk santai seperti sebelumnya, tetapi ada yang berbeda dari raut wajahnya, dan sesekali menengok kedalam warung Tante Mia tepatnya ke arah dua anak SMA tadi yang kini masih beristirahat dan mengobrol di warung tante Mia.
“kenapaki Bu Lety ?” Tanya tante Mia penasaran. “ehhh liat ki itu anak-anak, dehh tidak pergi sholat Jum’at” Bu’ Let yang sesekali melirik kedalam warung. Dengan wajah penuh laknat Bu’ Let kemudian menyeru “ee anak-anak, kenapa tidak pergo sholat Jumat?!! Anak-anak a5uuu eee!!!” Tante Mia yang kaget dengan sigap menegur Bu’ Let “ihh jangki begitu Bu’ Let”. Tertunduk dan terlihat ketakutan, seolah ketidaktahuan tersirat dari raut wajah dua anak SMA itu.
Anwar kemudian memarkirkan motornya setelah pulang dari Masjid menjalankan sholat Jum’at, masih terlihat jelas wajah kekesalan dari Bu’ Let yang kemudian berbegas masuk kedalam warungnya, begitu pun dengan Tante Mia yang kemudian bergegas pula masuk ke dalam warungnya.
Anwar yang tak tahu apa-apa, terlihat keheranan, ditambah lagi dua anak SMA itu juga ikut-ikutan menunduk dan terdiam. Anwar kemudian menghampiri Tante Mia yang tengah duduk dengan raut wajah kekesalan di dapur warungnya. “Kenapaki tante ?” Tanya Anwar dengan lembut. “itu ee Bu Lety, langsung marah-marah sama itu dua anak-anak di depan ka tidak pergi sholat jum’at”, jelas Tante Ati.
“oh begitu.. yah biar mi tante” sigap Anwar berusaha memulihkan keadaan. Namun tante Mia kembali berusaha menjelaskan bahwasanya apa yang dilakukan Bu’ Let adalah sebuah kekeliruan,“masalahnya to Anwar bukan soal dia berusaha menegur yang salah, tetapi masalahnya adalah ketika kita berusaha menyampaikan kebenaran yang dirasa benar, tanpa kita tahu kepada siapa kita menyampaikan kebenaran yang kita rasa benar itu.”
Dengan memalingkan wajah sejenak dan menghela nafas, Tante Mia kembali menyambung dengan nada berbisik ke Anwar, “itu anak-anak dua ee.. sering mi datang kesini makanya saya tau namanya dan di mana sekolah, itu anak-anak dua ee Kristen” tante Mia memancarkan raut wajah ketenangan, begitupun Anwar yang merasa telah mendapat satu titik pelajaran dari Tantenya yang bahkan tak lulus SMP itu.
Anwar kemudian tersenyum dan berucap dalam hati “andalang men tong tanteku”.
GIPHY App Key not set. Please check settings