in

“Terima Kasih Pak Jokowi”: Ini Lagu atau Mantra Pesugihan?

Di tengah riuhnya jagat maya dan makin padatnya lalu lintas puja-puji digital, muncullah satu karya agung yang langsung menyentuh hati (dan kantong, barangkali): lagu berjudul “Terima Kasih Pak Jokowi,” yang dipopulerkan oleh Kang Lidan. Sebuah serenade manis yang tak hanya berisi syair penuh sanjungan, tapi juga menjadi bukti betapa kesetiaan politik kini bisa diharmonisasikan dengan irama pop, melodi lokal, dan algoritma TikTok.

Lagu ini viral. Tentu saja. Karena siapa yang bisa menolak gabungan antara patriotisme ala panggung 17 Agustus dan syair-syair yang nyaris religius dalam mengangkat figur seorang presiden yang telah turun takhta. Video-videonya muncul di mana-mana, dari TikTok hingga Instagram Reels, dinyanyikan dengan ekspresi haru oleh emak-emak, remaja tanggung, hingga selebgram berfilter glowing. Sebuah fenomena budaya yang membuat kita bertanya: ini lagu, atau mantra pesugihan?

“Terima kasih Pak Jokowi, Hanya Tuhan yang Mampu Membalasi…” begitu potongan liriknya. Simpel, langsung, tanpa metafora yang merepotkan. Lirik seperti ini memang tidak dibuat untuk dikaji secara sastra; ia lahir untuk dikunyah cepat, ditelan massa, dan dicerna sebagai bentuk patriotisme mikro dalam kemasan siap saji.

Kita patut mengapresiasi kreativitas ini. Akhirnya, setelah satu dekade menjabat, mantan Presiden ke 7 ini mendapatkan lagu perpisahan yang-dalam segala absurditasnya-terkesan lebih tulus dibanding pidato politik akhir jabatannya. Lagu ini bukan sekadar ungkapan terima kasih, tapi juga terasa seperti doa, agar legacy yang ditinggalkan tetap harum dan licin, tak tergelincir dalam catatan kaki sejarah.

Tentu, tidak ada yang salah dengan berterima kasih kepada pemimpin. Tapi ketika rasa terima kasih itu dibungkus dalam format jingle nasionalis dan disebarluaskan secara masif di saat dosa-dosa kepemimpinannya sedikit demi sedikit mulai dikuliti, sulit untuk tidak membaca ini sebagai bagian dari branding, bukan penghargaan tulus.

Baca Juga  Fenomena Kedai Kopi dan Kehidupan Malam di Polman: Antara Gaya Hidup dan Dinamika Sosial

Yang menarik, masyarakat begitu cepat menangkap nada propaganda yang tersembunyi di balik irama manis. Tapi alih-alih mengkritik, banyak justru ikut bernyanyi. Barangkali ini bagian dari sindrom “daripada susah mikir, mending nyanyi.” Atau mungkin, lagu ini benar-benar menyentuh hati sebagian orang-terutama yang merindukan stabilitas dalam bentuk harga BBM naik pelan-pelan dan subsidi diam-diam hilang.

Kalau Chairil Anwar masih hidup, mungkin ia akan menulis ulang Aku menjadi Saya, Terima Kasih Pak. Sebab era ini, puisi tidak lagi lahir dari kegelisahan, tapi dari perasaan syukur massal yang dikoreografi. Penyair-penyair kontemporer barangkali sedang kebingungan: bagaimana bisa satu lagu sederhana mengalahkan semua kritik sosial dalam satu bait?

Yang lebih magis, lagu ini tidak hanya diterima, tapi juga dirayakan. Seolah kita sedang menyaksikan festival syukur nasional, di mana setiap notasi menghapus satu demi satu skandal, kegagalan, atau janji tak tuntas. Luar biasa, betapa musik bisa menjadi penyuci dosa politik yang efektif.

Akhirnya, lagu “Terima Kasih Pak Jokowi” adalah karya yang mencerminkan zaman: era di mana perpisahan politik bukan ditandai dengan evaluasi kritis, tapi dengan karaoke massal penuh haru. Sebuah testimoni bahwa di negeri ini, kadang lebih penting terlihat loyal daripada berpikir jernih.

Tapi mungkin saja, ramainya penerimaan atas lagu ini hanyalah sebuah candaan. Ketulusan yang dibungkus kalimat-kalimat satire belaka. Walaupun juga tidak menutup kemungkinan, lagu ini benar-benar lahir dari lubuk hati yang terdalam. Dan kalau ada versi remix-nya nanti, semoga saja Dewi Persik siap ambil bagian sebagai penyanyinya.

Berita Terkini

Eksklusif di Saluran Whatsapp Partikel Bebas.

Bagikan Ke Seluruh Umat Manusia!

What do you think?

Written by Riska Aulia

Seorang perempuan muda yang plinplan dalam menentukan cita-cita. Saat ini masih menikmati rutinitas sebagai mahasiswa salah-satu kampus negeri di Majene.

Tinggalkan Balasan

GIPHY App Key not set. Please check settings

Dinamika Pertambangan di Sulawesi Barat: Antara Kemajuan Ekonomi dan Masa Depan Ekosistem

Ibunda: Sebuah Perlawanan dari Dapur Kaum Tertindas