Di negeri ini, ketika orang tidak setuju, mereka tidak selalu membantah dengan argumen. Mereka melabeli. Sebuah stempel ditempelkan ke dahi lawan bicara, dan percakapan selesai. Aktivis buruh disebut komunis. Aktivis HAM disebut anti-nasional. Dan kini, aktivis lingkungan disebut “wahabi lingkungan.”
Istilah ini dilontarkan oleh Gus Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muslim dan tokoh Nahdlatul Ulama. Ia menyebut sebagian aktivis lingkungan terlalu kaku, terlalu keras, dan menolak kompromi. Bagi Gus Ulil, sikap seperti itu menyerupai cara berpikir kaum wahabi dalam agama: puritan, eksklusif, dan merasa paling benar.
Sekilas terdengar seperti kritik ringan. Seperti sindiran cerdas dari seorang intelektual yang terbiasa bermain dengan diksi. Tapi seperti halnya gula yang berlapis racun, kata-kata ini justru menjadi bagian dari masalah. Sebab kata-kata bisa memperkuat stigma, mengerdilkan gerakan, dan mengarahkan publik untuk meremehkan isu yang sebetulnya sangat serius.
Gerakan lingkungan tidak lahir dari mimpi-mimpi utopis atau romantisme ekologis belaka. Ia lahir dari luka. Dari sungai yang keruh karena limbah tambang, dari hutan yang dijadikan pabrik sawit, dari tanah adat yang dikapling atas nama “proyek strategis nasional.” Aktivisme lingkungan muncul karena ada perampasan ruang hidup, ada ketidakadilan, dan negara membiarkan itu.
Maka ketika aktivis lingkungan bersikap keras, tegas, bahkan radikal dalam menolak tambang atau pembabatan hutan, itu bukan karena mereka sedang latah ideologi. Itu karena mereka menyaksikan kehancuran yang nyata, dan mereka tahu kompromi kecil bisa berujung pada kerusakan besar.
Melabeli mereka sebagai “wahabi lingkungan” berarti menempatkan mereka dalam posisi ideologis yang berbahaya. “Wahabi” dalam konteks sosial keislaman Indonesia bukan sekadar aliran teologis, tapi sudah menjadi istilah peyoratif yang diasosiasikan dengan kekerasan, sikap tertutup, dan anti pluralisme. Maka ketika Gus Ulil menggunakan istilah itu untuk menggambarkan para aktivis lingkungan, yang terjadi adalah pengaburan persoalan. Alih-alih membahas kerusakan ekologis, publik justru digiring untuk mempertanyakan niat para aktivisnya.
Hal yang paling problematik dari pernyataan Gus Ulil bukanlah selera humornya yang sinis, melainkan posisi kekuasaan dari mana ia bicara. Gus Ulil bukan tokoh biasa. Ia mewakili institusi besar dengan pengaruh sosial dan politik yang luas. Ketika seorang seperti dia melabeli suatu gerakan, maka bukan hanya pendapat yang sedang dibagikan, itu adalah framing, pembentukan persepsi, dan potensi pembunuhan karakter secara simbolik.
Apalagi, kita hidup di tengah iklim di mana kritik mudah sekali dianggap ancaman. Di mana orang yang membela lingkungan bisa diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan dibunuh. Dalam situasi seperti itu, alih-alih memberi dukungan moral atau membuka ruang dialog, melabeli mereka sebagai fanatik justru memperburuk keadaan. Ia memberi amunisi kepada mereka yang ingin menertibkan suara-suara resisten atas nama ketertiban umum.
Dan yang paling ironis, semua ini dibungkus atas nama moderasi. Atas nama jalan tengah. Atas nama kewarasan yang katanya lebih bijaksana dibanding suara-suara yang dianggap terlalu keras. Padahal, dalam banyak hal, moderasi sering kali menjadi kedok baru bagi pelanggengan status quo. Ketika orang menolak tambang di wilayah adat mereka, apakah itu berarti mereka tidak moderat? Atau mereka hanya cukup waras untuk tahu bahwa satu langkah kompromi bisa membuka pintu kehancuran yang lebih luas?
Kita perlu jujur: dunia sedang rusak. Alam sedang diperas habis-habisan. Dan sering kali, negara ikut andil, entah lewat pembiaran, regulasi yang timpang, atau kolaborasi aktif dengan korporasi. Dalam situasi seperti ini, bersikap keras bukan pilihan moral yang salah. Justru itulah yang diperlukan. Karena mereka yang bicara lembut terlalu sering berakhir dengan diam.
Yang perlu dikritik bukan mereka yang marah, tapi mereka yang tenang-tenang saja di tengah bencana ekologis. Yang perlu dipertanyakan bukan mereka yang menolak tambang, tapi mereka yang bisa tertawa di tengah deforestasi. Dan yang harus dikoreksi bukan cara orang membela alam, tapi cara elit berbicara tentangnya seolah semua ini hanyalah soal gaya berdakwah.
Label “wahabi lingkungan” pada akhirnya adalah bentuk lain dari kemalasan intelektual. Ia menghindari debat substansial, dan menggantinya dengan istilah yang bernada sinis. Ia meremehkan kompleksitas isu lingkungan, dan mereduksinya jadi soal karakter orang. Ini bukan diskusi, ini pembunuhan argumen lewat perumpamaan malas.
Tentu saja, aktivis lingkungan bisa salah. Kritik terhadap mereka sah-sah saja. Tapi mari kita bicara dengan adil. Jika mereka keras, lihat dulu mengapa mereka begitu. Jika mereka menolak kompromi, pahami dulu apa yang ingin mereka lindungi. Karena jika tidak, kita sedang memposisikan diri bukan sebagai penengah, tapi sebagai pengganggu yang ikut menertawakan orang-orang yang sedang berjuang menyelamatkan ruang hidupnya.
Lucunya, sebagian dari kita tampak lebih nyaman melihat bumi dihancurkan sedikit demi sedikit, ketimbang melihat seseorang bersikap terlalu vokal menyelamatkannya. Kita lebih cepat tersinggung oleh aktivis yang keras bicara, daripada oleh korporasi yang tenang merusak hutan. Kita merasa lebih terganggu oleh orang yang menyindir, ketimbang oleh orang yang diam sambil menguras sumber daya.
Kita perlu membalikkan cermin. Dunia ini sedang genting, dan kata-kata punya dampak. Terutama ketika ia diucapkan oleh tokoh dengan pengaruh besar. Dalam konteks ini, pernyataan Gus Ulil semestinya menjadi momen reflektif, bukan ejekan. Bukan untuk melawan dia sebagai pribadi, tapi untuk mengingatkan bahwa tugas intelektual bukan mengejek yang keras, tapi menjelaskan mengapa mereka bersikap demikian.
Karena dunia tidak butuh label baru. Dunia butuh keberanian baru untuk menyebut kerusakan sebagai kerusakan. Dan berdiri bersama mereka yang menolak diam.

Kirim Tulisan
Kami percaya bahwa semua gagasan dan perspektif perlu disampaikan dan semua cerita perlu diutarakan.
KIRIM TULISAN
GIPHY App Key not set. Please check settings